November 2015

1K 78 31
                                    

Terimakasih cinta untuk segalanya. Kau berikan lagi kesempatan itu. Takkan terulang lagi semua...

Afgan - Terimakasih Cinta


-Awal November 2015-

"IH, ganti apa. Itu mah film apaan, sih?! Udah gede masih nonton cemen," seruku pada adikku, Rifky Nur Sadi.

"Dih, mending cemen dari pada sinetron cengeng. Pindah sono, kak cari TV lain!" Ck, mengesalkan memang.

Sudah menjadi kebiasaanku sejak kelas tiga SMP tiap malam menonton sinetron GGS kalau diplesetin (Ganteng-Ganteng Srikaya). Sedangkan, adikku menonton serial Naruto Shippuden. Dan kami selalu berdebat karena penayangan dua film tersebut yang bentrok. Akhirnya aku pun menonton TV di kamar ibuku. Karena di kamarku tidak ada TV.

Aku segera melangkah menuju kamar ibu dengan decakan sebal, sedangkan Rifky tak peduli, ia terlalu serius menonton cemen tersebut.

"Bu, ganti GGS dong. Itu si darah suci lagi diculik. Ntar Ara pingsan penasaran, nih." Ibu mendongak, dan menaruh jari didepan mulutnya.

"Ssst, lagi rame nih, Ra. Kamu sama abang aja, ah. Ini TBNH lagi pada berantem nih."

Ya Allah.

Aku pun memutuskan ke kamar saja, karena bingung harus apa. Mau belajar? Ah, besok kan sabtu libur. Pantang belajar dihari libur. Di kamar, aku langsung menyumpal telingaku dengan earphone dan mencolokkan ke ponsel, lalu aku pun terhanyut dalam alunan lagu Like I'm Gonna Lose You dari Meghan Trainor.

Selang setengah jam kemudian, terdengar suara gaduh dari luar. Setelah melepas earphone, ternyata hanya suara ketukan pintu, yang ku kenal dengan ketukan Rifky. Ya, aku begitu hafal karena suara yang rusuh, dan tidak sabaran.

"Ada bang Haris tuh, kak. Cepet keluar! Et, punya mpok budek," teriaknya dari balik pintu kamarku. Ck, sial anak ingusan

"Iya, bentar, ah. Cerewet banget, ya lanang." Aku pun bangkit dengan malas, tak lupa berkaca untuk memastikan penampilanku agar pantas dipandang. Tak lupa, aku juga menyemprotkan sedikit parfum, agar meyakinkan Haris bahwa aku sudah mandi. Btw, aku memang malas mandi sore. Kata ibu, sih karena sewaktu ia mengandungku, ia begitu gemas dengan adik terakhirnya yang malas mandi. Ia selalu mengomel bahkan mencubit adiknya itu, yaitu Rindani. Jadi, kebiasaan burukku ini memiliki alasan yang cukup logis dan aneh.

"Lagian siapa suruh mau kerumah dadakan mulu. Jaman udah canggih, internet makin maju. Ponsel bagus, kuota banyak. Chat dulu kek, susah banget kayaknya," dumelku seraya menutup pintu dan melangkah keluar untuk menemuinya. Ah, gue ngapain kesel gini? Penting amat lagian harus rapi nemuin Aris. Emang dia laki gue? Dumel diriku yang lain. Kayaknya aku besok harus cek ke psikiater, mungkin aku mengidap bipolar disorder.

"Hai, lama banget? Dandan dulu, ya?" Sapanya seperti biasa. Aku hanya mendengus dan memperhatikan penampilannya dari atas kebawah. Dimulai dari topi converse hitam kebanggannya, jeans hitam dan yang paling ku suka yaitu ia mengenakan sweater navy pemberianku. Dan terakhir, sandal jepit refleksi. Ck, pake sneakers kek gitu biar matching, Ris. Ah, aneh emang untung sayang.

"Hm, masuk sini, Ris. Kebiasaan banget, sih. Chat dulu, kek. HP Aris kiloin dah mending dari pada nggak guna gitu," omelku seraya membuka pagar, dia pun melangkah masuk seraya terkekeh.

Choco Berry [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang