Juni 2017 I

676 44 50
                                    

Bukannya aku mudah menyerah
Tapi bijaksana
Tau kapan harus berhenti..

Raisa - Usai Disini

-Awal Bulan Juni-

MATAKU sibuk memperhatikan orang-orang yang tengah sibuk berlalu lalang. Sesekali aku melirik ponsel, melihat jam.

Kurang lebih sudah empat jam aku duduk menunggu giliran dan segala tetek bengek administrasi asuransi kesehatan yang disediakan pemerintah.

Ya, BPJS.

Memang sangat membantu. Tapi, harus siapkan kantong kesabaran berlapis-lapis.

"Pak Rahman."

Aku pun terlonjak dan segera membangunkan ayah yang tengah tertidur dengan posisi duduk.

"Yah, bangun. Udah dipanggil nama ayah, tuh." Aku menggoncang tubuh ayah.

Ayah pun membuka matanya yang merah dan langsung memelototiku. Belum sempat aku membuka mulut untuk menjelaskan, ayah langsung bangkit dan berlari ke meja administrasi tersebut.

Bibirku berkedut melihat langkah cepat ayah. Aku menggelengkan kepala. Aku memperhatikan ayah yang kini sedang di tensi darahnya oleh suster.

Ayah pun dipersilakan masuk ke ruang 401, pintu yang bertuliskan 'Ruang 401. THT'.

Aku lantas berdiri dan membawa dokumen penting ayah yang berisi hasil CT Scan.

Setelah masuk di ruang yang sangat kuhapal, karena aku juga dulu saat mengalami gangguan pada telingaku, aku dioperasi disini.

Ayah tak menerima tindakan apapun dari dokter, hanya mengatur jadwal operasi.

Ayah kedapatan tanggal 14 Juli untuk operasi hidungnya. Ah, masih lama sekali rasanya tetapi aku sudah dibuat gelisah dan rasa takut.

Selepas itu, kami pun pulang. Minggu depan kami kembali tetapi bukan ke ruangan ini lagi. Tetapi, ke bagian radiologi.

Aku bertekad akan selalu menemani ayah hingga operasi berlangsung.

Di perjalanan pulang, mataku terpaku pada punggung kokoh yang dulu sering menggendongku dikala aku menangis. Punggung yang menggendongku dikala aku kelelahan berjalan. Pun punggung yang telah lama bekerja keras untuk menghidupiku dengan usaha dan tetesan keringatnya.

Tanpa sadar air mataku telah sampai pelupuk dan jatuh tanpa aba-aba. Tanganku refleks menutup mulut, aku pun tersadar. Aku telah mengenakan masker dan helm.

Tak guna juga aku menutup mulutku dengan tangan. Aliran air mataku pun berlanjut menatap nanar punggung tegap ayah yang masih terlihat kokoh.

Dad, you always be my King.

Oh, no. But, you are my Hero and my first love.

SAAT banyak pikiran yang berkecamuk dalam otakku, biasanya aku selalu menggulingkan badan di kasur dan melilitkan tubuhku dengan selimut.

Choco Berry [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang