Arthur menatap Ralph lekat yang tengah duduk di depan komputernya. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, sedangkan matanya menatap serius ke layar monitor koputernya. Sudah setengah jam lebih mereka berdua dalam posisi seperti itu. Kamar Ralph tampak hening karenat tak ada yang berniat membuka suara. Arthur tau jika Ralph membutuhkan konsentrasi penuh saat ini, jadi dia memutuskan berdiam diri di belakang Ralph yang tengah sibuk melakukan tugasnya.
Beberapa menit kemudian, Ralph menghela nafas lega. Dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan merenggangkan badannya yang terasa pegal. Melepaskan kacamatanya sejenak untuk mengusap matanya yang mulai berair karena terlalu lama menatap layar monitor sebelum memasangnya kembali.
"Kau berhasil?" tanya Arthur di belakangnya. Ralph membetulkan posisi duduknya lalu mengangguk dengan mata yang masih menatap layar monitor. Telunjuk kanan Ralph men-scroll mouse-nya, membuat layar monitornya bergerak ke bawah. Memperlihatkan data yang berhasil dia buka dari dalam flash disknya yang Arthur berikannya kembali.
"Sistem keamanannya cukup ketat, namun aku berhasil meretasnya. Aku hanya tinggal mempelajarinya sebelum memutuskan kapan harus menyerang mereka," Ralph tersenyum puas. Data-data mengenai Port Mafia terpampang lengkap di hadapannya. Mulai dari pemasukkan, pengeluaran, perndistribusian barang-barang, penyebarluasan wilayah hingga siapa-siapa saja yang menjadi klient mereka. Bahkan biodata tentang Boss dan para petingginya pun terlampirkan.
"Jadi, kapan kita menyerang mereka??" tanya Arthur antusias. Ralph mendengus malas, dia membalikkan kursi putarnya agar dapat menghadap Arthur. "Jangan terburu-buru seperti itu. Port Mafia adalah organisasi mafia yang besar, jika kita akan mati jika tak mempunyai rencana yang matang. Lagipula, salah satu klientnya baru saja mati. Mereka pasti tengah menyelidikinya, mereka tengah berwaspada saat ini."
"Kau meremehkanku??" tanya Arthur tak terima dengan sebelah alisnya yang naik. Perkataan Ralph barusan seolah-olah tengah meremehkannya. Ralph menatap Arthur dengan jengah, sifat Arthur yang seperti ini lah yang tidak disukainya. Arthur terlalu terburu-buru dalam menentukan sesuatu, dia tak pernah memikirkan matang-matang dengan apa yang dia pilih. Baik buruknya serta apa dampak yang terjadi setelahnya.
"Aku tau kau kuat. Tapi jika kau ceroboh seperti ini, aku tidak akan terkejut jika mendengar kabar kematianmu beberapa hari ke depan," Ralph berkata sarkas. Arthur menatap malas ke Ralph yang dibalas dengan tatapan tajam dari orang yang ditatapnya.
"Jadi saat ini kau hanya perlu berdiam diri. Tunggu pemberitahuanku lagi, kau mengerti?!" Ralph memberi tajam dan dingin pada setiap kata yang dia ucapkan, memberitahukan Arthur kalau saat ini dia sedang tak bermain-main. Hal itu dia lakukan agar Arthur tak melakukan kesalahan yang tak diperlukan. Setelah beberapa menit saling tatap, Arthur akhirnya menyerah. Dia menghela nafas sebelum mengangguk patuh.
"Menyebalkan!!" dengus Arthur. "Aku lebih suka Ralph yang cengeng daripada Ralph yang ketus dan dingin seperti ini," Arthur tersenyum mengejek. "Siapa yang cengeng!!" seru Ralph tak terima. Matanya semakin menajam karena marah diledek seperti itu. "Tentu saja kau. Aku masih ingat saat kau menangis di rumah sakit kemarin. Jika kau melihat wajahmu yang penuh ingus dan air mata itu, kau pasti akan terbahak-bahak. Perutku saja sampai sakit karena menahan tawa waktu itu," Arthur tertawa lepas, memancing kemarahan Ralph.
"Arthur!!!" seru Ralph marah namun taak dihiraukan oleh Arthur. Dia malah merogoh hand phone-nya dari dalam saku celana, memperlihatkan foto yang diam-diam dia ambil. Foto Ralph yang sedang menangis dengan wajah yang sembab karena ingus dan air mata. Ralph tak sadar jika Arthur memotretnya diam-diam, foto itu sangat memalukan.
"Berikan padaku!!!" Ralph segera menerjang Arthur, namun dia bisa menghindari terjangannya. Akhirnya Ralph tersungkur di atas lantai. Siku dan lututnya terasa ngilu karena menghantam lantai. Tak mau berlama-lama tergeletak di atas lantai, Ralph segera bangkit dan langsung meraih tangan Arthur. Berusaha merebut hand phone Arthur dari genggamannya. Ralph berniat foto memalukan itu.

YOU ARE READING
ALTER
General Fiction[BOOK 2 OF 8 Fate Grand Order Series] Aksi Arthur belum selesai. Dengan bantuan Alter, Arthur mulai menyasar orang-orang yang tak terikat oleh hukum untuk dibunuh. Warna merah dan bau darah sudah menjadi favoritnya. Arthur sudah seperti serigal...