Kemauan Pantang Menyerah

371 61 8
                                    



Federick sedang menyusun berkas-berkasnya saat mendengar pintu ruangannya diketuk. Dia menatap sejenak pintu yang tepat berhadapan dengan meja kerjanya itu. Kepalanya menerka-nekar siapa yang mengetuk pintunya.

Pasalnya, orang yang berani berhadapan langsung di rungannya hanyalah orang-orang kepercayaannya. Dan beberapa dari mereka tengah diberikan tugas olehnya dan baru akan kembali tengah malam nanti. Hanya ada Nolan dan Ada saat ini.

Apa itu Nolan? Tapi pria itu tadi bilang ingin mengurus sesuatu di kamarnya. Begitupula dengan Ada, wanita itu tidak mungkin mau membuang waktunya untuk mengganggu dirinya.

Suara ketukan terdengar kembali. Federick memutuskan untuk mengakhiri acara berpikirnya.

"Masuk!" seru Federick.

Federick dapat mendengar suara grandel pintu yang perlahan dibuka. Bunyi engsel pintu yang berderit memenuhi ruangan. Ensel itu terus berdreit pintu benar-benar terbuka dan menampilkan seseorang yang bardiri di ambang pintu.

"Ka...kau..." ujar Ferderick dengan tergagap. Meskipun sedikit berbeda, Federick masih mengenali orang yang berdiri di depan sana. Mana mungkin dia melupakan wajah orang yang telah membunuh sebagian dari anak buahnya.

Orang yang berdiri di ambang pintu itu adalah Arthur. Dengan menggenggam Murasame yang sudah terlepas dari sarungnya di tangan kanan, Arthur menatap datar ke arah Federick.

"Bagaimana kau bisa masuk sampai ke sini?!" Federic menatap tajam Arthur. Tangannya mencoba untuk menggapai laci di sebelah kanannya.

"Mudah saja," Arthur mulai mengambil langkah untuk mendekat. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah lalu berhenti beberapa meter dari meja kerja Federick. "Anak buahmu terlalu bodoh, mereka membiarkanku dengan mudah sampai kemari."

Federick menggeram kesal. Tangan kanannya sudah memegang sebuah pistol yang dia ambil dari lacinya, siap menembak Arthur.

"Mereka memang tidak berguna," Federic dengan cepat mengarahkan pistolnya ke Arthur. Satu tembakan berhasil dia layangkan. Arthur yang sudah bisa memprediksi arah tembakan itu hanya bergeser satu langkah ke samping dengan santai. Peluru itu hanya mampu melewatinya saja tepat di hadapannya.

Melihat tembakkannya meleset, Federick membali menembak Arthur. Satu, dua, tiga tembakan dia arahkan pada Arthur, namun tak satu pun yang mampu mengenai anak itu.

"Percuma saja. Berkat perhitunganku yang setingkat iblis membuatku bisa memprediksi pergerakanmu dan semua interval dan penghindarannya. Berdasar pada prediksi akan pola gerakan serta seberapa cepat tembakkanmu. Yang artinya, pelurumu tak akan bisa melukaiku."

Federick berdecih ketika semua tembakkannya tak ada yang mengenai tubuh Arthur. Padahal pelurunya sudah habis, namun Arthur tak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Arthur hanya menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindar dan menggunakan Murasame untuk menangkis tembakkannya.

"Kenapa berhenti? Apa pelurumu habis?" Arthur mulai mendekati Federick kembali, pria itu tak bergeming saat Arthur menodong lehernya dengan Murasame. Federick benar-benar dibuat terpojok oleh Arthur.

"Aku kemari hanya ingin menjemput Taehyung. Akan kupastikan nyawamu selamat jika kau tak menghalangiku. Jadi, bisa kau tunjukkan dimana kau mengurungnya?" Arthur meyakinkan Federic jika ini bukan sekedar ancaman dengan nada suaranya.

Federick terdiam, dia memandang sekilas Arthur yang berada di sampingnya. Pria itu tak bodoh. Arthur tidak sedang main-main saat ini. Nyawanya bisa hilang sesaat jika dia tak kooperatif dengan anak itu.

ALTERWhere stories live. Discover now