Pria bertopeng itu terus membawa Arthur pergi. Sudah lebih dari dua jam semenjak pelarian mereka, dan tampaknya Cliffreed dan rekannya tidak mengejar mereka berdua.
Hari sudah malam, suara lolongan binatang liar terdengar bersaut-sautan. Pria bertopeng itu memutuskan untuk beristirahat di sebuah pohon besar di tepi sungi. Akan berbahaya jika dia melanjutkan pelariannya, apalagi sembari menggendong orang yang terluka.
Dengan perlahan, pria itu menyandarkan Arthur di pohon itu. Dia segera melepaskan baju yang dikenakan Arthur dan betapa terkejutnya dia saat mendapati luka yang seharusnya menganga lebar kini hanya tinggal seperti luka ditusuk pisau dapur, alih-alih dihujam pedang.
Hal yang berkaitan dengan Arthur memang selalu membuatnya berpikir keras. Selama beberapa tahun dia mengawasi Arthur, banyak hal yang tidak sewajarnya terjadi. Seperti saat ini, luka yang dapat sembuh dengan sendirinya.
Meskipun kebingungan, pria itu bernafas lega. Setidaknya Arthur selamat.
Pria itu menghembuskan nafas lelah, menggendong Arthur selama lebih dari dua jam membuatnya lelah. Apalagi topeng yang dia kenakan membuatnya sulit untuk mendapatkan oksigen.
Pria itu melepaskan topengnya. Mata hitamnya berkilauan saat sinar bulan menyinari dirinya. Dia berjalan ke pinggir sungai, tangannya menangkup sejumlah air untuk membasuh wajahnya. Dia bernafas lega, wajahnya terasa lebih segar saat air itu membasahi wajahnya.
Tangan pria itu mengambil sebuah sapu tangan dari saku celananya. Dia kemudian membasahi sapu tangan itu dengan air sungai lalu kembali menghampiri Arthur yang bersandar di pohon tadi untuk membersihkan darah yang melekat di tubuh anak itu.
Saat sedang mengusap tubuh Arthur, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Seseorang menelponnya. Dengan segera, dia mengangkat panggilan itu lalu menempelkan ponsel itu ke telinganya.
"Ada apa, Helen?" tanya pria itu setelah sambungan telponnya tersambung.
"Ketua meminta data hasil pengamatanmu terhadap Arthur Aeccestane. Kau berjanji akan mengirimkannya sekarang bukan?"
Orang itu mengangguk mengerti. "Aku mengerti. Tapi untuk saat ini, sepertinya aku tidak bisa. Ada hal mendadak yang harus kulakukan."
"Baiklah, akan kusampaikan pada Ketua," ujar Helen. "Aku hanya ingin memberitahumu tentang itu. Karena Ketua menyuruhku untuk bertanya padamu."
"Sampaikan maafku pada Ketua. Aku berjanji, aku akan mengirimkan data itu secepatnya saat memiliki waktu."
"Akan kulakukan," balas Helen. "Tapi jika boleh bertanya, memangnya orang seperti apa yang sedang kau amati? Apa orang itu begitu spesial sampai kau mengamatinya selama dua tahun terakhir ini?" tanya Helen penasaran.
"Yah, dia benar-benar spesial," ujar orang itu sembari menatap Arthur dan tersenyum. "Sangat spesial. Ada pertanyaan lain?"
"Tidak, aku akan memastikannya sendiri orang yang kau sebut 'sangat spesial' itu nanti. Ngomong-ngomong, Arash mencarimu. Dia marah karena kau tiba-tiba menghilang selama dua tahun tanpa jejak. Dia sempat bertanya padaku dan Ketua, tapi atas permintaanmu kami tidak memberitahukannya. Setelah pengamatanmu selesai, cepatlah kembali. Yuki, Liliy, dan Collin merindukanmu."
"Aku pasti akan dibunuh anak Yuki karena menghilang tiba-tiba dalam waktu yang lama seperti ini," terdengar suara kekehan Helen dari sebrang telpon, membuat orang itu tersenyum karena mengingat tingkah Yuki yang polos, menggemaskan, dan sadis.
"Kau yang lebih mengetahui sifat anak itu daripada yang lain. Berhati-hatilah dalam melakukan pengamatanmu, Oliver. Kudengar, GOD mulai bergerak lagi."

YOU ARE READING
ALTER
General Fiction[BOOK 2 OF 8 Fate Grand Order Series] Aksi Arthur belum selesai. Dengan bantuan Alter, Arthur mulai menyasar orang-orang yang tak terikat oleh hukum untuk dibunuh. Warna merah dan bau darah sudah menjadi favoritnya. Arthur sudah seperti serigal...