Chapter 12
Blake akhirnya membuka kedua matanya, yang sudah kembali seperti semula, lalu memandangku dengan khawatir. Sebagian diriku ingin berlari memeluknya, tapi sebagiannya lagi ingin berlari menjauh darinya. Dengan sedikit ragu Ia berjalan melangkahi mayat Gultor di depannya, ke arahku. Jantungku masih berdebar kencang, badanku yang masih sedikit gemetaran bersandar di tembok belakangku. Blake mengangkat tangannya ke arahku lalu menariknya lagi, ia melepaskan kaos putihnya yang sekarang sudah berubah warna menjadi menjijikan lalu membersihkan tangannya yang juga berlumuran cairan kehitaman dengan bagian kaosnya yang masih bersih. Ia melemparkan kaosnya ke belakang lalu menatapku lagi, kedua tangannya menangkup pipiku. Aku bisa melihat ekspresi di matanya, panik, khawatir, marah... Seakan-akan Ia baru saja kehilangan sepuluh tahun umurnya dalam semalam. Ibu jarinya mengusap ujung mataku, mengusap air mataku yang tidak kusadari sudah membasahi pipiku sejak tadi. Kedua matanya memeriksaku dari ujung kaki sampai ujung kepala, mungkin ingin memastikanku baik-baik saja. Lalu Blake menarikku ke dalam pelukannya, Ia membenamkan kepalanya di leher dan rambutku sambil menarik nafas dalam-dalam. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang tidak beraturan dan suhu tubuhnya yang hangat. Aku tidak membalas pelukannya, kedua mataku kembali memandang benda kehitaman mengerikan yang tergeletak setengah meter dari mayat Gultor itu. Jantung. Aku berusaha bernafas melalui mulutku untuk meredam keinginanku untuk muntah.
“Isabelle…” Blake berbisik di pundakku, Ia mencium pangkal leherku dengan lembut. Kedua tangannya melingkari tubuhku dengan protektif, aku merintih kesakitan ketika Blake memelukku semakin erat. Ia melepaskan pelukannya, “Kau tidak apa-apa?”
Sebelum aku sempat menjawabnya James muncul di depan pintu dengan nafas terengah-engah, Ia mengenakan celana piyama biru bergaris dengan jersey. Rambut dark blonde nya yang sangat berantakan tidak dapat mengimbangi ekspresi sangat khawatir di wajahnya, “Isabelle…” ia menatapku dan Blake lalu menatap mayat Gultor di lantai apartemen Blake. James mengernyit, “Kau tidak apa-apa?”
Aku mengangguk kecil, berusaha fokus pada James tanpa melihat mayat itu lagi. Tapi bau anyir dan dark chocolate yang menyatu membuatku mual, kali ini aku tidak bisa menahannya. Aku berlari menuju kamar mandi sambil menutup mulutku dengan kedua tanganku, kutumpahkan semua isi perutku di toilet hingga tidak tersisa. Blake membantuku memegang rambutku agar tidak menghalangiku, kuusap mulutku dengan punggung tanganku lalu berusaha berdiri. Blake membantuku berdiri dan membersihkan tanganku di wastafel, Ia memberiku segelas air untuk berkumur. “Maafkan aku, Isabelle.” Ia berulang kali menggumamkannya padaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, yang jelas rasa lelah yang sangat amat menjadi hal terakhir yang kuingat.
Aku terbangun karena suara beberapa orang yang sedang berbicara, suara yang kukenal. Rasa sakit di punggungku sudah menghilang sama sekali, jam digital di sampingku menunjukkan pukul 3 sore. Aku tidur selama itu? Dengan perlahan aku bangun dari tempat tidur lalu berjalan menuju pintu.
“-bukan salahmu.” Sebuah suara feminim yang sangat kukenal terdengar dari ruang tengah, jantungku hampir berhenti berdetak.
“Jika bukan karenamu, Isabelle akan sendirian saat Ia pertama kali berubah. Kau sudah menolongnya, Mr. Leighton.” Walaupun samar aku bisa mendengar suara Mum. Mum ada disini. Tanpa membuang waktu lagi kubuka kenop pintu kamar, tiba-tiba lima pasang mata memandangku. Blake, James, Beatrice, Mum, dan Dad. Aku berdiri mematung di depan pintu, Mum memandangku dengan khawatir dan terkejut, mungkin karena perubahan fisikku. Sedangkan Dad memandangku dengan… wajah cemberutnya, kurasa Dad merasa sakit hati karena aku tidak memberitahunya saat Ia berkunjung kesini beberapa hari yang lalu. Pandanganku beralih ke arah Blake, aku memandangnya dengan pandangan marah. Ia memanggil kedua orangtuaku? Aku bukan anak kecil lagi!