(1)

54.5K 1.8K 37
                                    

Isabelle Marie Phillips 

Gedung Vaughan Insurance didepanku terlihat mengintimidasi, bangunannya yang didominasi warna abu-abu dan hitam membuat ujung jari-jari tanganku menjadi dingin karena gugup. Kurapikan blazer hitamku sekali lagi, lalu melangkah masuk ke dalam. Aku mencoba mengingat semua jawaban yang sudah kusiapkan untuk wawancara ini. Vaughan Insurance adalah perusahaan terbaik yang pernah aku tahu. Mr. Olson, dosen akuntansi di kampus, merekomendasikanku untuk magang di perusahaan ini. Dengan nilai akhirku yang memuaskan Mr. Olson menelepon beberapa kenalannya di Vaughan Insurance agar memperbolehkanku magang di perusahaan itu. Dan disinilah aku, sendiri berdiri di dalam lift menuju lantai sepuluh. Kujepit tag nama yang diberikan oleh security di lipatan saku blazerku lalu kulihat jam di tanganku untuk yang kesejuta kalinya, pukul 9.45, masih ada lima belas menit lagi. Kupandang pantulanku di lift yang sebagian dilapisi kaca, pagi ini kuputuskan untuk menggelung rambut coklatku agar terlihat lebih profesional dan mengganti kontak lensku dengan kacamata. Kedua mataku yang berwarna hijau memandangku balik dari pantulan. Blazer hitam, kemeja putih, dan rok hitam adalah satu-satunya setelan formal yang aku punya. Keningku mengernyit melihat pakaianku yang sangat biasa. Aku harus membeli beberapa setelan lagi. Jantungku berdebar keras karena gugup, kucoba untuk menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Mum keberatan saat aku memberitahunya tentang wawancara magang ini, Vaughan Insurance berada di Hampsire sedangkan Mum ingin aku magang di Georgia atau di sekitarnya, yang lebih dekat dari rumah. Hampsire dan Georgia berjarak 3 jam perjalanan. Mungkin Mum benar... 

Perutku terasa seperti diremas saat lift tiba-tiba berhenti di lantai 5. Pintu lift terbuka perlahan, seorang pria dengan setelan jas berwarna abu-abu berdiri di depanku. Ia sedang menempelkan handphone di telinganya dan berbicara dengan ketus. 

"Aku sudah memperingatkanmu, Dave!" salah satu tangannya menyisir rambut hitamnya dengan frustasi. Ia memiliki rambut yang bagus. Lalu pintu lift mulai menutup lagi. 

"Tolong tahan liftnya." Ia mendongak menatapku dengan kedua matanya yang berwarna hitam lalu terdiam. Tanganku secara otomatis menekan tombol lift agar pintunya tidak menutup.  

"Aku akan bicara lagi denganmu. Nanti." Pria di depanku menutup teleponnya lalu melangkah masuk ke dalam lift. Samar-samar aku dapat mencium bau aftershave-nya, entah kenapa membuat jantungku lebih tenang. Tangannya menekan tombol 15 di lift, lalu menyimpan handphonenya di saku jasnya. Ia berdiri satu meter di sebelahku wajahnya terlihat muda, mungkin berumur dua puluhan. Ia lebih tinggi dariku, walapun aku sedang mengenakan sepatu dengan heel. Tinggi dan mengintimidasi. Kutundukkan kepalaku untuk mengamati tas ditanganku, jantungku mulai berdebar lagi karena gugup. Aku hampir bisa mendengar suara debaran jantungku sendiri. Kehembuskan nafasku perlahan lalu mendongak, badanku membeku ketika melihat sepasang mata hitam yang memandangku dari pantulan kaca lift. Ia sedang mengamatiku. Oh. 

Aku berusaha tersenyum sopan ke arahnya, Ia memiliki wajah yang... menarik, sangat. Rahangnya yang tegas mengimbangi kedua matanya yang tajam. Ia tidak tersenyum, ataupun mengalihkan tatapannya. Suara lift yang terbuka mengalihkan perhatiannya, aku mengikuti arah pandangannya. Lantai 10. Dengan gugup kakiku melangkah keluar dari lift. Seorang pria berjalan melewatiku, masuk ke dalam lift. 

"Blake, kau ikut meeting?" 

Blake? Kepalaku menoleh ke arah lift secara otomatis, Ia masih memandangku dengan tatapannya yang mengintimidasi. Ada apa dengannya? 

"Yeah." Suaranya yang berat menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dariku. Perlahan pintu lift menutup di depanku, lalu wajahnya menghilang dari balik lift.  

"Miss Phillips?" 

Kubalik badanku sambil memasang senyum terbaikku, seorang perempuan setengah baya berdiri di depanku. Ia memakai setelan jas berwarna abu-abu, rambutnya yang berwarna chesnut dibiarkan terurai dengan rapi. 

Isabelle (Valerina #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang