Ps. Banyak yang nanya kenapa Isabelle lemah banget, padahal katanya Isabelle-Blake itu pasangan Valerina paling kuat. Karenaaa… Isabelle baru berubah jadi Valerina pas dia umur 20 (soalnya Morgan udah jadi manusia waktu nikah sama Claire). Sedangkan Blake, James, Claire, dkk udah jadi Valerina dari lahir. Jadi Isabelle masih… balita (sebagai Valerina maksudnya, hehe), intinya jadi Valerina itu perlu tumbuh juga, perlu adaptasi perubahan dari manusia ke Valerina. Plus, dia juga belum begitu sadar tentang kekuatannya.
Makasiiiih buat yang udah teliti trus nanya. Mungkin kurang jelas di ceritanya, kadang-kadang suka loncat-loncat juga nulis draft ceritanya jadi suka lupa masukin info plot penting hehehe.
Tapi di chapter ini bakalan dijelasin kok sama Jack kenapa Isabelle masih lemah. ;)
Selamat baca!
ccm.
Chapter 21
Kalimat terakhir Jack masih terngiang di dalam kepalaku. Sebagian besar diriku tidak mempercayainya, tapi ada bagian kecil dari diriku yang mengatakan bahwa Jack mengatakan yang sebenarnya. Ingatanku kembali ke apartemen Blake, saat Gultor menyerangku. Aku masih mengingat ekspresi Blake saat membunuhnya, saat menarik jantung Gultor dengan tangan kosongnya.
Dan sekarang Ia harus membunuh ayahku.
Aku harus menghentikannya. Tidak ada gunanya duduk disini dan menduga-duga, aku harus melakukan sesuatu. Kurasakan ikatan di tanganku sedikit longgar karena aku menariknya sejak tadi, tapi tidak cukup untuk melepaskannya dari tanganku. Kuabaikan rasa perih di kulit pergelangan tanganku dan mulai menariknya lagi, setelah lima belas menit berusaha menarik pergelangan tanganku hingga kulit di sekitarnya memerah dan lecet akhirnya aku bisa melepaskan tangan kiriku. Selanjutnya aku melepaskan ikatan tangan kananku dan kakiku.
Dengan jantung yang berdebar keras aku mendekati pintu yang sebelumnya digunakan oleh Jack lalu menempelkan telingaku, tidak ada suara yang terdengar dari ruangan sebelah, tapi aku tidak ingin mengetes keberuntunganku saat ini jadi kuputuskan untuk membuka pintu di seberangnya.
Sebuah kamar tidur.
Kututup pintu di belakangku lalu berdiri di tengah-tengah kamar ini dengan panik. Aku tidak bisa menemukan telepon atau senjata di tempat ini, bulu kudukku berdiri saat memandang interior kamar ini yang didominasi warna merah gelap. Seperti warna mata Jack. Kubuka tirai beledu berwarna merah darah yang menutupi jendela lalu memandang ke langit gelap di luar. Kamar ini berada di lantai dua, aku sedang memandang ke halaman belakang rumah ini yang berbatasan langsung dengan hutan. Dengan pelan kulepas kunci jendela lalu membukanya lebar-lebar, angin malam yang dingin menyentuh kulitku seketika.
Satu-satunya jalan untuk keluar dari tempat ini adalah pintu yang digunakan oleh Jack tadi.
Atau dari jendela ini.
Kukeluarkan sebagian tubuhku lewat jendela lalu bertumpu pada pipa saluran air di bawah frame jendela. Suara langkah kaki samar-samar terdengar dari luar pintu, kudorong tubuhku menjauh dari jendela dengan panik hingga kakiku terpeleset dari pipa saluran air. Kututup mulutku yang memekik dengan tanganku saat punggungku mendarat di tanah, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku. Tapi aku tidak mempunyai waktu untuk merasakannya saat aku mendengar namaku dipanggil dari dalam. Kudorong tubuhku agar berdiri lalu mulai setengah berlari setengah tertatih menuju jalan raya terdekat, aku tidak ingin tersesat ke dalam hutan.
Jalanan yang benar-benar sepi dan hanya diterangi lampu jalan membuatku sedikit ragu, tapi kuputuskan untuk meneruskannya. Aku melihat dua mobil yang diparkir di sebelah rumah yang dihuni Jack. Kupercepat lariku sambil mengabaikan kanan dan kiri jalan yang hanya ditumbuhi pepohonan. Setidaknya seseorang pasti akan melewati jalan ini, kuharap.