Chapter 16.5
Bau sesuatu yang terbakar membuatku terbangun, aku bisa melihat perapian beberapa meter di depanku. Kupejamkan lagi kedua mataku ketika rasa sakit menjalari seluruh tubuhku, rasa sakitnya membuatku terbangun seketika. Aku bisa merasakan kepalaku yang berdenyut keras, kubenamkan kepalaku di karpet yang lembut hingga rasa sakit di kepalaku berkurang. Dimana ini?
Kubuka kedua mataku lalu memandang sekelilingku, satu-satunya cahaya hanya berasal dari perapian yang sedang menyala. Seluruh ruangan ini didominasi oleh kayu, kurasa aku sedang berada di kabin. Hanya ada sofa kulit berwarna hitam dan sebuah meja kayu di tengah ruangan, dua buah pintu berseberangan dari tempatku berdiri. Salah satunya adalah jalan keluarku. Aku tahu orang sedang kuhadapi saat ini sangat berbahaya, dan tidak akan ada kesempatan untukku jika aku menghadapinya langsung. Kupaksa tubuhku untuk berdiri walaupun sekujur tubuhku masih terasa sakit. Celana jeansku robek di bagian lututku sedangkan salah satu sepatu ketsku menghilang. Dengan setengah tertatih aku berjalan menuju pintu terdekat lalu bersandar dengan hati-hati, berusaha mendengarkan suara langkah kaki atau gumaman seseorang. Tanganku berusaha membuka kenop pintunya dengan sangat pelan, tapi kenopnya tidak bergerak sama sekali. Lalu aku menariknya dengan kedua tanganku sekuat tenaga tapi tidak ada perubahan yang berarti. Aku berjalan menuju pintu yang satunya, tapi sama saja. Ia mengunciku di tempat ini. Kali ini jantungku berdebar lebih cepat, aku mengelilingi kabin kecil ini berusaha mencari jalan keluar lain. Tanganku merogoh saku jeansku mencari handphoneku, tapi handphoneku tidak ada di sakuku, kurasa aku menjatuhkannya tadi.
Aku harus keluar dari tempat ini sebelum Ia kembali. Mum dan Dad tidak akan menyadari aku pergi hingga pagi nanti, perutku mual membayangkan apa yang akan terjadi. Setelah semua yang Ia lakukan di hutan tadi, aku yakin Ia tidak akan ragu-ragu untuk berbuat lebih jauh. Seperti membunuhku. Aku tahu selama ini banyak orang yang sudah mengatakan padaku bahwa Ia berbahaya, tapi aku tidak pernah berpikir Ia yang sudah menjebakku. Ia adalah orang terakhir yang ada di pikiranku. Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki dari salah satu pintu di depanku, dengan panik aku mundur beberapa langkah hingga punggungku menempel di dinding kayu kabin ini. Jantungku berdebar keras di dalam rongga dadaku ketika melihat pintu di sebelah kanan terbuka perlahan. Bau manis yang samar-samar tercium bercampur dengan bau pohon pinus memenuhi ruangan seketika, Ia membuka pintunya lebar-lebar lalu menatap karpet tempatku berbaring tadi sebelum mendongak ke arahku. Sebuah senyum dingin perlahan menghiasi wajah pucatnya yang tampan. Bukan tipe tampan seperti Blake, tapi lebih ke arah… kejam. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja yang berwarna sama, tanpa dasi.
“Kau sudah bangun, Isabelle.” Gumamnya dengan suara yang jernih lalu berjalan menuju sofa kulitnya dan duduk dengan santai, sepatunya yang berwarna hitam mengkilap karena cahaya dari perapian. Kedua matanya masih menatapku dengan pandangan dingin, serasi dengan senyumannya. “Kau tidak mau duduk?” tanyanya sambil menelengkan kepalanya sedikit. Aku mendorong tubuhku semakin menempel ke dinding kayu di belakangku. Jika di hutan tadi aku bisa merasakan aura berbahayanya walaupun aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, maka saat ini dengan penerangan perapian dan terjebak satu ruangan dengannya rasanya jauh lebih buruk. Kedua mata hitamnya masih menatapku menunggu jawabanku, aku menggeleng kecil padanya.
“Aku lebih berharap kita bisa mengobrol dengan santai, Isabelle.” Tambahnya. Aku menatapnya tanpa ekspresi, berusaha menyembunyikan rasa takutku sebaik mungkin. Ia menghembuskan nafasnya dengan dramatis lalu menaikkan kedua bahunya. Ia sudah mengikutiku dan menyerangku di hutan tadi, tapi tidak ada satu debu pun yang menempel di jas atau sepatunya. Bahkan rambut hitamnya masih rapi.
Sangat kontras denganku saat ini.
“Aku tidak tahu keberuntungan akan memihakku seperti ini,” salah satu tangannya mengelus rahangnya yang pucat, “Kau, adalah keberuntunganku, Isabelle.” Ia tersenyum padaku, walaupun senyumnya terlihat mengerikan bagiku.