Chapter 16
Keluarga Kate kembali sekitar pukul 10 malam, aku bisa mendengar suara mobil mereka yang berjalan menjauh. Rumah Mum sedikit terpencil jika dibandingkan dengan rumah-rumah lain disekitar sini, suasana hening kembali menyelimuti seluruh rumah. Kumatikan lampu kamarku agar Mum atau Dad mengira aku sudah tidur lalu berjalan menuju jendela kamarku yang dipenuhi pemandangan Crestforest yang gelap gulita. Dari kejauhan aku bisa melihat cahaya kecil yang berpendar, ada yang mengujungi hutan itu selarut ini?
Aku tidak memikirkannya lebih jauh, masalahku saat ini sudah cukup membebani pikiranku. Ekspresi wajah Blake yang terluka kembali menghantuiku. Kupejamkan kedua mataku lalu menempelkan keningku di kaca jendela yang dingin, separuh diriku ingin mengambil handphoneku yang berada di tumpukan paling bawah lemariku lalu menelepon Blake.
…dan tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan kita.
Mengingat kata-kata Blake membuat perutku terasa seperti ditinju lagi. Ia berpikir aku akan membiarkannya melukai orangtuaku lalu semuanya akan kembali seperti dulu lagi? Hembusan nafasku membuat kaca jendela sedikit beruap, setelah apa yang terjadi hari ini perasaanku menjadi semakin tidak enak. Seakan-akan instingku mengatakan ada hal buruk yang akan terjadi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, memberitahu Mum dan Dad? Memohon pada Blake untuk tidak melukai orangtuaku dan melupakan dendamnya?
Kuputuskan untuk tidur dan mengistirahatkan kepalaku, mungkin besok pagi pikiranku akan menjadi lebih jernih. Atau tidak. Kukenakan piyamaku lalu menyusup diantara selimutku yang hangat. Aku bisa mendengar suara burung hantu di kejauhan, pikiranku masih terus berputar hingga akhirnya aku menyerah pada rasa lelah dan tertidur.
Aku hampir bisa merasakan hangatnya api perapian di kulitku, seorang pria berdiri membelakangiku beberapa meter di depanku, rambutnya yang sangat hitam dan berantakan berkilat karena pantulan cahaya dari api perapian. Ia mengenakan kemeja flannel berwarna biru dan celana jeans hitam. Pria itu sedang memandang keluar jendela, kegelapan malam dan hujan salju yang putih hampir menutupi segalanya diluar. Aku tidak bisa menggerakkan badanku ataupun bersuara sama sekali, jadi aku hanya bisa menatap punggungnya. Aku mengenal postur tubuh pria di depanku, rambut hitamnya dan bau dark chocolate yang perlahan mengelilingiku. Aku ingin memanggil namanya agar Ia berbalik menghadapku, agar aku bisa menatap kedua mata hitamnya yang mengintimidasi, agar aku bisa mendengar suaranya memanggil namaku lagi. Tapi perlahan Ia semakin menjauh, aku berusaha memanggil namanya tapi tidak ada suara yang keluardari mulutku. Aku hanya bisa melihat jarak diantara kami yang semakin lebar, hingga hanya ada kegelapan yang menyelimutiku. Lagi.
Kedua mataku terbuka menatap langit-langit kamarku yang tinggi, udara yang tiba-tiba menjadi lebih dingin membuatku menggigil walaupun selimutku menutupi tubuhku. Mimpiku barusan terasa sangat nyata. Aku tidak menyadari nafasku yang terengah-engah hingga aku melihat samar-samar kepulan uap yang keluar dari mulutku. Uap? Kukerutkan keningku lalu memandang jendela kamarku yang terbuka lebar. Bukannya aku tidak membuka jendelaku sejak sore tadi? Aku bangun dari tempat tidurku lalu menutup jendela kamarku rapat-rapat. Mungkin aku tidak menutupnya dengan benar sore tadi. Jam di dinding menunjukkan pukul 2 pagi, aku bisa melihat pohon-pohon di luar yang bergerak karena hembusan angin. Tapi ada bayangan bergerak di luar sana yang menarik perhatianku, aku tidak sempat melihatnya lebih jelas karena bayangan itu menghilang di balik pepohonan gelap Crestforest dengan cepat. Apa itu?
Kujatuhkan kembali tubuhku di atas tempat tidur lalu menarik selimutku, kucoba untuk kembali tidur tapi gagal. Ada sesuatu yang membuatku tidak bisa memejamkan kedua mataku. Bau manis. Walaupun sangat samar, tapi aku masih bisa menciumnya. Bukan mau manis seperti cake atau cookies, tapi bau manis yang memuakkan. Jantungku mulai berdebar semakin keras, kulemparkan selimutku lalu turun dari tempat tidur. Kedua mataku men-scan seluruh kamarku, secarik kertas berwarna putih yang menempel di ujung kaca lemariku menarik perhatianku. Kertas itu tidak ada di situ sebelumnya. Masih dalam keadaan gelap dan hanya diterangi sinar bulan yang menembus jendelaku aku berjalan mendekati kaca lemariku dan membacanya.