Chapter 17
Blake membawaku menuju mobilnya yang diparkir sedikit lebih jauh dari rumah Mum, langit pagi ini masih sedikit gelap dengan sedikit gradasi warna kekuningan. Mungkin ini masih pukul 5 pagi. Ia menggendongku dengan hati-hati saat mengetahui kakiku yang patah, aku bisa mendengarnya mengumpat beberapa kali saat aku memberitahunya. Selama berjalan Ia berkali-kali menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan matanya, kurasa itu adalah caranya untuk meredam kemarahannya.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku saat Ia membaringkanku di jok belakang BMW nya. Blake hanya mengenakan kaos berwarna abu-abu dan celana piyamanya, kurasa Ia baru bangun tidur saat menerima pesan dan misscallku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Blake tidak membaca pesanku… atau terlambat beberapa menit.
“Yeah, aku tidak bisa membawamu pulang sekarang, Isabelle. Tidak dengan keadaan seperti ini, aku akan menghubungi orangtuamu nanti.” Blake menatapku dengan kedua matanya yang berwarna hitam kelam, bibirnya membentuk garis tipis. Tangannya menarik rambut di keningku dengan lembut. Bau dark chocolate yang memenuhi setiap sudut mobil membuatku lebih rileks.
“Aku akan menghubungi mereka sendiri. Ada yang harus kujelaskan padamu… dan pada orangtuaku.” balasku sambil menyentuh rahangnya yang kasar, “Aku- aku sudah membuat kesalahan yang sangat besar, Blake. Apa yang kukatakan padamu-“
“Isabelle.” Ia memotong kalimatku lalu mengecup sekilas bibirku yang tidak terluka, “Kau mengira aku akan menyerah dan meninggalkanmu hanya karena ucapanmu?” Ia setengah tersenyum, walaupun kedua matanya masih terlihat marah. Blake menutup pintu mobilnya lalu berjalan ke pintu kemudi.
“Bagaimana kau menemukanku?” gumamku setelah Ia mengemudi beberapa lama. Nafasku tercekat ketika kakiku yang patah sedikit berguncang saat Blake membelokkan mobilnya. Sial, aku tidak pernah tahu rasanya patah tulang akan seperti ini.
“Handphonemu. Aku mencarinya lewat GPS.” Ia merogoh saku celana piyamanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. Blake melemparkan handphoneku yang kotor ke jok di sebelahnya. Blake menghentikan mobilnya di depan hotel yang kukenal.
“Four Seasons?” tanyaku dengan suara serak, kami menginap di hotel ini saat aku pertama kali berubah menjadi Valerina. Blake membuka pintu mobilnya lalu kembali menggendongku dengan sangat hati-hati, beruntung pagi ini tidak ada tamu yang berkeliaran di lobby hotel. Hanya ada beberapa resepsionis yang memandang kami dengan tatapan terkejut, tentu saja, tidak setiap hari mereka melihat seorang pria menggendong perempuan dengan celana jeans robek dan hanya mengenakan satu sepatu. Belum lagi rambutku dan darah di jumperku. Kubenamkan wajahku di kaos Blake, kedua tanganku melingkari lehernya. Blake berjalan lurus ke lift tanpa menoleh sedikitpun, rahangnya mengatup dengan kaku. Ia membawaku ke kamar yang sama dengan kamar kami dulu. Aku ingin bertanya padanya, tapi kuurungkan saat melihat ekspresi di wajahnya. Ia membaringkanku di tempat tidurnya, lalu berjalan ke arah kopernya tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Aku terkejut melihat kopernya yang cukup besar, Ia berencana menetap cukup lama disini?
Blake memberiku piyamanya yang berwarna hitam dan membantuku mengenakannya, Ia memotong celana jeansku dengan gunting agar tidak menyakiti kakiku. Blake berlutut di sebelah tempat tidur lalu membersihkan darah di wajahku dengan handuk basah, Ia mengusap wajahku dengan hati-hati. Semakin Ia melihatku, semakin dalam cemberut di wajahnya. Kedua matanya yang menjadi lebih kelam dari sebelumnya, walaupun warna darah di pinggiran iris matanya sudah menghilang. Kaos abu-abunya terkena beberapa tetes noda darahku, Blake menghindari tatapan mataku sejak tadi. Ia menghindariku. Perasaan bersalah perlahan menghantuiku, aku sudah menyeretnya ke dalam ini semua.