Prolog

68.7K 4.5K 156
                                    

Semua setting dan pelaku yang ada di cerita ini hanya fiktif belaka. Dibuat sebagai hiburan semata ^^.

.

.

.

Aya : Nanti lo belok di gang keenam. Lurus aja sampai lihat rumah pager ijo

Nilam menghela napas panjang selepas membaca kembali pesan dari Aya yang berisi alamat rumah Elis—teman sekelasnya. Hari ini Nilam dan dua temannya yang lain—Aya dan Vika—berencana mengunjungi Elis yang sudah tiga hari ini tidak masuk karena sakit cacar air. Awalnya ketiganya akan pergi ke rumah Elis bersama, tetapi apa daya Nilam harus menghadiri rapat ekstra kurikuler Mading sepulang sekolah. Jadilah Nilam berjalan sendirian menuju rumah Elis setelah turun dari angkutan yang mengantarkannya hingga gerbang perumahan.

Kedua tungkai diseret dengan susah payah. Peluh yang mengalir d ipelipis diusap perlahan. Hari yang cukup panas, meski terik matahari sudah bergeser ke arah barat. Ditambah pagi tadi Nilam mengikuti pelajaran olahraga yang tidak disukainya. Cukup mengurangi daya dirinya untuk berjalan sampai ke rumah Elis.

Setelah melewati dua gang, Nilam melintasi gerombolan lelaki yang tengah duduk-duduk di motor. Beberapa dari mereka yang menyadari kedatangan Nilam melayangkan tatapan memuja. Bahkan salah satu dari mereka mengedipkan mata, menggoda Nilam. Bisa dibilang ini mungkin hari tersial Nilam. Sudah harus mengikuti kelas olahraga, ikut rapat Mading hingga terlambat pulang, jalan sendirian ke rumah Elis, dan sekarang digoda mas-mas kurang belaian. Hari yang sempurna. Sempurna pantat ayam, batin Nilam kesal.

"Cewek," salah seorang bersiul. "Godain kita, dong!"

Berbanding terbalik dengan Nilam yang mendengus kesal, para lelaki berjaket kulit itu justru tertawa terbahak-bahak. Merasa tidak penting menanggapi mereka, Nilam memilih mengabaikan. Berjalan lurus dengan langkah cepat tanpa menoleh sama sekali.

"Woi, mau ke mana?" Nilam tersentak kaget saat salah seorang dari mereka mencengkal lengannya. Kebetulan orang itu adalah orang yang menggodanya tadi.

"Lepasin!"

Lelaki bertubuh tambun itu tertawa. Cekalan di lengan Nilam mengerat, membuat gadis itu meringis kesakitan. "Jangan sombong, deh! Main sama kita dulu, yuk!"

"Sayang!"

Kegiatan tarik-menarik terhenti sejenak. Nilam mengernyit ketika lelaki lain dengan jaket kelabu menyetandarkan motornya. Lantas semua efek slow motion seperti di film-film pun terjadi. Bagaimana lelaki itu melepaskan helmnya, menggelengkan kepala hingga surai gelapnya yang sedikit basah teracak sempurna, sampai saat lelaki itu berjalan mendekat ke arah Nilam. semuanya tidak luput dari penglihatan Nilam. Sempurna.

Eh? Nilam menggeleng tegas. Pemikiran apa tadi? Bagaimana bisa dia mengagumi sosok lelaki yang bisa jadi termasuk anggota gerombolan yang mengganggunya ini?

"Duh sayang, udahan dong ngambeknya! Nggak capek apa kamu jalan kaki sampai rumah?"

Mulut Nilam menganga mendengar penuturan lelaki jangkung ini. Matanya mengerjap cepat, mencoba mengingat. Siapa tahu Nilam mengenalnya. Namun, mau berusaha sekeras apa juga tidak ada satu pun orang yang dikenal Nilam serupa dengan lelaki ini.

"Siapanya lo, Rey?" Nilam menoleh saat sebuah suara menginterupsi.

"Pacar gue, Bang. Ngambek tadi soalnya telat jemput," jawab si lelaki yang diyakini Nilam bernama Rey tadi dengan santai. Berarti benar dugaan gadis berseragam putih abu-abu itu kalau si Rey ini adalah komplotan dari para preman yang mengganggunya.

"Eh?" Tanpa aba-aba lengan Nilam pun terlepas. Kedua bola mata lelaki yang mencekal lengan Nilam tadi melebar. Wajahnya pucat pasi, seperti menyesali tindakan gegabahnya karena telah mengganggu pacar orang. "Sori, Rey. Nggak tahu kalau ini cewek pacar lo."

"Santai aja, Bang. Belum pernah gue kenalin juga. Wajar kalau nggak tahu," sahut Rey sembari menepuk pelan lelaki yang setinggi dirinya itu. "Yuk sayang, kita pulang."

Belum sempat Nilam menolak, Rey sudah lebih dulu menarik pergelangan tangan gadis itu. Mengajak gadis itu membonceng motornya. "Lo sekolah di SMA Bina Bangsa?" tanya Rey setengah berbisik. Matanya terus menyoroti gerombolan yang masih mengamati dirinya yang belum menyalakan motor.

"Iya," Nilam menjawab dengan cepat. "Kok tahu?"

"Itu di seragam," jawab Rey sembari menunjuk lengan kanan Nilam dengan dagunya. Di sana terdapat bet dengan tulisan SMA Bina Bangsa.

"Kenal Elisyana?" tanya Rey lagi.

Nilam mengangguk sedikit ragu. Aneh saja Rey tiba-tiba menanyakan soal Elis. Memang apa hubungannya lelaki ini dengan temannya itu? "Ini saya mau ke rumahnya Elis, Mas."

"Oh, temennya Elis." Rey mengangguk mengerti. "Udah, nggak usah takut. Gue Mas-nya Elis. Biar gue anter sampai rumah. Nggak bakal nyasar. Tenang aja."

Nilam tampak sedikit terkejut dengan pengakuan Rey. Memang Elis pernah menyebut kalau dirinya punya seorang kakak lelaki. Akan tetapi, gadis itu tidak pernah menyebut nama kakaknya sama sekali.

"Kita nggak langsung ke rumah gue nggak apa-apa, kan?" tanya Rey sembari memasang kembali helmnya. "Muter dulu sampai mereka pergi. Biar nggak dicurigai," terangnya agar tidak terjadi kesalahpahaman. Bisa repot kalau Nilam mengira bahwa Rey akan menculiknya.

"Iya, Mas."

Mendengar persetujuan Nilam, Rey melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan kompleks perumahannya dan memilih memutar jalan untuk menghindari kawanan yang mengganggu Nilam tadi.

Nilam memperhatikan punggung tegap Rey dari belakang. Telapak tangannya mencengkeram kedua sisi jaket kelabu Rey. Senyumnya merekah setiap kali tanpa sengaja dirinya menubruk punggung Rey saat lelaki itu mengerem motornya.

Uhh, punggung peluk-able. Boleh Nilam peluk tidak, yah?

.

.

.

TBC

Lapak buat Pakdhe Rey ^^

Kapan dilanjut ... nanti deh... Ngantri di belakang ceritanya Gilang... Huehehehe...

~Fee

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang