"Sebenernya cowok macam apa yang kamu sukai sampai gagal move on sih, Lam?"
"Cowok macam Mas Rey."
.
.
."Reyza ...."
Lamunan gue buyar ketika seseorang menyentuh lengan gue. Kerutan di kening Clara menyambut kemudian saat gue memalingkan muka. Masih terlihat khawatir Clara pun mengajukan pertanyaannya, "Kamu nggak apa-apa?"
Gue menggeleng, nggak lupa melepaskan apitan Clara dari lengan gue. Tapi, entah karena Clara emang kuat atau gue yang kelewat lemah, gue nggak berhasil membebaskan diri dari Clara. Alhasil, gue pasrah aja dia ngegandeng lengan gue sambil nyandar-nyandar manja di sana. "Kapan kita pulang?" tanya gue yang justru dibalas kekehan ringan dari Clara.
Serius, Clara cantik kalau lagi ketawa kecil gitu. Paling nggak itu penilaian gue di pertemuan pertama, kedua, sampai ketiga. Selebihnya tawa itu jadi sedikit menyebalkan, mengingat kelakuan Clara yang nggak tahu malu dengan nempel gue melulu. "Kita baru sampai, Rey. Masa udah mau pulang. Kamu nggak mau nyobain semua stan makanan di sini dulu?"
"Nggak deh, ini aja cukup," jawab gue menunjukkan pie susu yang udah digigit. "Kasihan nanti yang nikah keluar duit banyak."
Clara lagi-lagi ketawa. Sekarang ditambah cubit-cubit pipi gue. Modus banget emang. "Duh, Reyza. Kan semua yang di sini udah dibayar lunas sama mereka. Yah, nggak apa-apa kali kalau kita makan semuanya. Emang disediakan buat kita ini," kata Clara menanggapi. Gue melongo. Iya juga, kok gue jadi bego?
"Makanya, jangan kebanyakan ngelamun. Blank kan jadinya," tegur Clara sembari menarik gue ke stan makanan yang lain.
Kayaknya bener kata Clara, gue emang kebanyakan melamun. Gue segan mengakui itu, tapi emang sejak pembicaraan kami—gue dan Nilam—di mobil waktu itu pikiran gue nggak bisa jauh dari sahabat adik gue itu. Nggak tahu kenapa, kata-kata Nilam selalu terngiang seperti sebuah bisikan di rungu gue, senyumnya selalu hadir ketika gue mengerjap sepersekian detik, dan wajahnya sering melintas ketika gue mau tidur. Mungkin ini akibat Nilam yang main-main dengan bilang kalau gue adalah cowok yang bikin dia gagal move on.
Haelah, Rey! Jangan kepedean!
"Rey, ini enak deh! Buka mulutnya! Aaaaa ...." Dengan setengah sadar gue membuka mulut, menerima suapan dari Clara. Gue nggak tahu itu apaan, karena tadi nggak sempat lihat makanan apa yang diambil Clara. Tapi, kalau dari rasanya ini sejenis pangsit.
Sambil terus mengunyah dan memikirkan soal Nilam—kan gue kepikiran Nilam lagi!—pandangan gue mulai mengedar. Gue masih aja santai menanggapi suapan Clara yang selanjutnya, sampai tatapan gue bertemu sama milik seseorang.
Pangsit masuk ke kerongkongan gue bulat-bulat, terutama saat orang tadi dan pasangannya beranjak mendekati gue dan Clara. "Ra, kok ada Elis di sini?" bisik gue tanpa melihat Clara. Tapi, bisa gue pastikan kalau cewek itu segera mengikuti arah pandang gue.
"Yah, karena diundanglah, Reyza," jawab Clara. Lagi dia nyuapin gue, tapi kali ini gue tolak dengan memalingkan muka.
"Kalo jawaban itu doang, gue juga bisa," balas gue kesal. "Maksudnya, gimana bisa Elis diundang?"
Tatapan gue masih mengarah ke depan, sama sekali nggak peduli bagaimana ekspresi kebingungan Clara akan pertanyaan gue saat ini. Bukan itu yang gue tunggu, melainkan jawaban atas pertanyaan: bagaimana bisa adik dan adik ipar gue di sini?
"Gimana nggak diundang, kan kedua mempelainya itu karyawannya Pak Bian, Reyza," jawab Clara pada akhirnya.
Bola mata gue melebar, kemudian mengerjap cepat. Gue mencoba kembali menggali ingatan soal ajakan Clara sekitar seminggu yang lalu. Clara hanya meminta gue buat menemani dia di acara pernikahan temannya. Mulanya, gue menolak dengan berbagai alasan. Walau alasan sebenarnya adalah karena gue udah nggak mau terus-menerus bikin baper anak gadis orang ini. Tapi, Clara memaksa. Dia bahkan sampai mengungkit betapa berjasa dirinya menjadi gandengan kondangan gue. Akhirnya, mau nggak mau gue pun menerima. Lagi pula nggak ada salahnya berbuat baik, hitung-hitung balas jasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Pretend
Fiksi UmumUntuk kedua kalinya Reyza Ardhian Pratama mengakui Sekar Nilam Kusumawati sebagai kekasihnya. Berbeda dengan sebelumnya, Rey melakukan hal ini bukan hanya untuk menyelamatkan Nilam, melainkan juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Rey pikir hubu...