[23] Nilam

21.1K 3.1K 788
                                    

Aku sebenarnya tidak mengerti dengan sikap Mas Rey belakangan ini. Setelah membiarkanku pulang dari rumah Farah seorang diri, sekarang lelaki itu terus mengabaikanku. Tidak mau menemuiku, menghindariku, dan tidak menghubungiku. Salahku juga, tidak berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu karena kelewat kecewa dengan perubahan sikapnya tersebut. Bukankah kesabaran seseorang selalu ada batasnya?

Oleh karena itu aku juga memilih diam, memberi Mas Rey ruang untuk berpikir. Sayangnya, keputusanku tidak tepat. Karena sampai hari kelima, Mas Rey masih tidak menghubungiku. Dampaknya, perkembangan persiapan pernikahan kami menjadi terhambat.

Tidak tahan dengan situasi semacam ini, aku akhirnya mengalah. Membiarkan diriku datang ke tempat kerja Mas Rey dan menghadapi resepsionis bernama Alivia yang sama sekali tidak menunjukkan wajah ramah padaku.

"Pak Reyza ada di tempat?" tanyaku pada Alivia.

"Tidak ada," jawabnya—masih tanpa senyum. Ah, aku sangat berharap Kak Dito bisa menyelamatkanku dari Alivia seperti terakhir kali. Karena sungguh, aku malas sekali berurusan dengan Alivia saat ini. Urusanku dengan Mas Rey saja sudah cukup memusingkan, aku tidak kuat jika harus menambah masalah dengan si Alivia ini.

"Bisa tolong dicek dulu?" tanyaku, lebih tepat disebut meminta tolong.

"Kalau mau cek, bisa telepon ponselnya. Anda calon istrinya, bukan?" Sindiran Alivia tepat menikap dadaku. Yah, andai Mas Rey tidak dalam masa menghindariku, bisa saja aku meneleponnya dan memintanya menemuiku di lobi kantornya.

Aku baru saja akan berbalik dan menyerah, saat suara gelak tawa terdengar mendekat. Alis Alivia terangkat. Dengan dagunya dia menunjuk pintu masuk. "Itu Reyza," katanya.

Benar saja. Mas Rey memang terlihat tidak jauh dari pintu masuk. Namun, dia kelihatan tidak menyadari kehadiranku. Terlaku fokus berkelakar dengan perempuan berambut cokelat yang sekarang tengah tertawa sembari memukuli lengannya.

Aku mengenali perempuan itu. Tidak hanya mengetahui namanya saja, tetapi aku tahu pasti status perempuan itu bagi Mas Rey. Perempuan itu adalah Rena, mantan kekasih Mas Rey. Yang dibilang Mas Rey tidak ada hubungan apa pun selain rekan kerja. Lalu ini apa? Aku pikir mereka tidak lagi dekat. Apa mereka sudah melupakan masa lalu dan  mulai berteman?

"Eh, Rey ...." Rena menyadari keberadaanku lebih dulu. Ia mengulum bibir sembari menunjuk diriku dengan dagunya.

"Ni—lam?"

Kedua bola mata Mas Rey melebar. Aku membayangkan bagaimana seharusnya sikap Mas Rey saat mendapat kunjungan dariku. Biasanya dia akan langsung tersenyum atau berhambur memelukku ketika ada kesempatan. Akan tetapi, kali ini berbeda. Senyumnya tersungging begitu kaku. Sama seperti saat pertama kali aku memergoki Mas Rey makan berdua dengan mantan kekasihnya itu.

Menarik napas dalam, aku berinisiatif lebih dulu mendekat ke arah mereka. Aku terlampau fokus dengan keduanya, sampai tidak menyadari bahwa ada orang lain yang turut menghentikan langkah dan ikut menatapku dengan raut kebingungan. Yah, setidaknya kecemburuan mau pun segara pikiran negatifku pudar perlahan. Mas Rey dan Rena tidak benar-benar berdua saja.

"Hai, Mas. Baru dari luar?" tanyaku pada Mas Rey yang masih diam saja. Yang dia lakukan sejak tadi hanya menatapku sembari berkedip sesekali.

"I—iya," jawab Mas Rey setelah disikut lebih dulu oleh Rena. Astaga, harus ada adegan sikut-sikutan segala? Aku dianggap apa? "Kamu kok ada di sini?"

"Mau ngajak makan siang," aku melirik jam tangan sebentar, "kebetulan udah jam istirahat, kan?"

Mas Rey mengangguk. Namun, tidak segera menanggapi ajakanku. Ia malah menatap Rena beserta beberapa orang yang berjalan bersama mereka tadi.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang