[12] Rey

20.3K 3.1K 250
                                    

"Jadi, kapan Papa dan Mama bisa menemani kamu melamar Nilam?"

Pertanyaan itu lagi. Gue sampai nggak tahu bagaimana lagi caranya untuk menjelaskan pada Papa. Padahal gue udah bilang sebelumnya, kalau gue nggak mau terburu-buru dan Nilam pun menyetujuinya. Tapi tetap aja papa nggak peduli, seenggaknya sehari sekali Papa selalu melemparkan pertanyaan yang satu itu.

Gue sih udah kebal dengan pertanyaan itu. Tapi, masa Papa harus menanyakannya ketika Nilam sedang berkunjung ke rumah?

Iya, Nilam memang datang sebagai tamu. Dan sekarang pacar gue itu lagi diculik sama Mama buat membantu menyiapkan makanan di dapur. Sebenernya nggak bisa dibilang diculik juga, karena Nilam sendiri yang berinisiatif membantu Mama. Istriable banget emang pacar gue.

"Malah melamun," Papa menegur hingga gue tersentak kaget. "Dijawab pertanyaan Papa, Rey."

"Papa inget nggak sih kalau di sini ada Nilam?"

Papa mengangguk. "Mama kamu dari kamaren udah berisik dengan persiapannya menyambut calon menantu yang mau berkunjung pertama kali. Ya, masa Papa nggak inget," tukas Papa membuat gue nyaris mengeram. Ya Allah, andai nimpuk Papa sendiri itu nggak dosa.

"Ya terus, kenapa Papa tanya gitu ke Rey, sementara Nilam lagi di dapur sama Mama? Kalau dia denger gimana? Rey kan nggak enak, Pa," kata gue ditanggapi Papa dengan ekspresi datar tak terbaca.

"Bagus kalau dia denger. Biar sekalian diatur waktunya," ujar Papa.

Gue mau banget menenggelamkan diri di samudra Hindia, karena harus menahan rasa frustasi berkepanjangan. Habis, kalau Papa yang ditenggelamkan, gue jadi anak durhaka mengalahkan rekornya Malin Kundang.

"Pa, kan Rey udah bilang nggak mau buru-buru melamar Nilam," kata gue entah keberapa kalinya pada Papa.

"Dan Papa juga udah bilang sama kamu, kalau Papa nggak peduli sama jawaban itu," kata Papa menimpali. "Kalau perlu Papa bakal tanya terus ke kamu sampai kamu kasih tanggal buat Papa sama Mama datang ke rumahnya Nilam," lanjutnya.

"Pa," tenaga gue udah habis buat berdebat sama Papa. "Dulu Papa aja ribet banget waktu Bian mau melamar Elis. Kok sekarang malah maksa Rey sih?"

Papa menghela napas panjang. "Karena kamu brengsek," jawab Papa membuat mulut gue membulat.

"Pa, sadar nggak sih ngatain anaknya apa?"

"Brengsek," Papa malah mengulangi dengan penuh penekanan. "Mau mengelak kalau kamu nggak brengsek, Rey?" Sebelum gue sempat menyela Papa sudah lebih dulu bersuara lagi.

"Nggak ada lelaki baik-baik yang cium perempuan sembarangan di depan umum," kata Papa menjelaskan satu alasan mengapa gue nggak pantas disebut cowok baik-baik.

"Tapi, Pa ..." bukan gue nggak bermaksud sopan dengan menyela perkataan Papa. Gue cuma mau meluruskan ucapan Papa barusan. "Papa nggak inget gimana Elis sama Bian ketemu pertama kali? Mereka ciuman di kafe, Pa."

Papa mengangguk, seakan membenarkan ucapan gue. "Kalau itu adik kamu yang salah, Rey. Dia duluan yang mencium Bian. Tapi, Bian kemudian datang dan mengakui bahwa itu salahnya. Dia bahkan meminta restu Papa dan Mama untuk menikahi Elis. Walau mulanya Papa nggak setuju sama Bian apalagi dengan latar belakangnya sebagai duda beranak satu, Papa akhirnya luluh karena tanggung jawab dan keberaniannya."

Gue benar-benar dibuat bungkam oleh Papa. Bagaimana menjelaskannya, ya? Apa yang dialami Elis, ternyata nyaris serupa dengan yang gue alami. Bedanya, Bian berani aja mengajak Elis membangun bahtera rumah tangga. Sedangkan gue, masih takut memulai komitmen lebih lanjut dengan berbagai alasan yang susah terurai lewat kata-kata.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang