Pokoknya ini menyebalkan ... hehehe ...
Jadi tarik napas dalam dulu, sebagai bentuk kontrol emosi.
●Fee●
※※※
Tidak memerlukan otak jenius untuk mengetahui siapa sosok Rena bagi Mas Rey. Aku sudah bisa menerka sejak Elis menyebutkan nostalgia bersama. Ada dua alasan yang mungkin, mengapa Elis bisa sampai menggunakan istilah itu. Pertama karena mereka teman lama yang akhirnya bertemu lagi, atau mantan kekasih. Dan mengetahui bagaimana Mas Rey coba mengalihkan pembicaraan, aku menyimpulkan bahwa perempuan yang dipanggil Rena itu adalah mantan kekasih dari calon suamiku.
Cemburu? Jelas. Siapa yang tidak cemburu jika mendapati calon suaminya makan berdua saja? Namun, aku mencoba menekan rasa cemburu itu. Berkaca dari kasus sebelumnya, di mana aku salah paham dengan kebersamaan Clara dan Mas Rey di toko perhiasan.
Aku berhasil menekan rasa cemburu itu, dengan sangat baik. Meski aku sempat menandai kepemilikan Mas Rey, dengan mencium pipi lelakiku itu. Akan tetapi, ketimbang rasa cemburu, ketakukan lebih mendominasi batinku. Cerita Mama mengenai kegagalan pernikahan keponakan Bu Bestari memenuhi pikiranku.
Kisah kami nyaris serupa. Calon suami kami sama-sama dipertemukan kembali dengan seseorang di masa lalu. Jika kemarin dengan tenangnya aku bisa melabeli calon suami keponakan Bu Bestari sebagai lelaki yang tidak setia, kini aku justru merasa takut label itu melekat pada diri Mas Rey. Itu tidak akan terjadi, bukan?
"Percaya sama Mas, ya Lam?" Gumaman Mas Rey malam itu berkali-kali ku tanam dalam hati. Aku mencoba mempercayainya, meski ini terlihat berat pada mulanya.
"Sumpah, ya Lam. Persiapan pernikahan itu bikin capek. Nggak bisa dihitung lagi deh berapa kali gue ngomel-ngomelin Bagas. Untung Bagas sabar banget ngadepin gue. Kalau nggak, mungkin gue udah ditinggal sama dia," perkataan Farah melalui sambungan telepon menyadarkanku.
Aku melirik sudut bawah layar laptopku. Sudah nyaris setengah jam berlalu aku hanya menempelkan ponsel ke daun telinga, tanpa benar-benar mendengarkan curahan hati Farah yang frustasi dengan persiapan pernikahannya.
"Oh, iya Lam. Kebaya lo udah di ambil sama Bagas kemarin. Lo main ke sini dong, sambil nyobain kebaya bridesmaid-nya," kata Farah mengalihkan topik pembicaraan, tanpa peduli aku ingin merespon keluh kesahnya atau tidak.
"Oke, besok gue ke sana," balasku. "Sekalian juga gue sama Mas Rey mau fitting baju pengantin."
"Kalian baru fitting?" Farah merespon dengan heboh.
"Iya. Kenapa emang? Padahal sebelumnya gue menyarankan buat nyewa aja baju pengantinnya. Tapi, Mas Rey yang maksa buat tetep bikin," kataku. Entah mengapa Mas Rey memang lebih antusias untuk mempersiapkan pernikahan kami setelah insiden aku memergokinya makan berdua dengan Rena. Mungkin sebagai upaya agar aku lebih mempercayainya.
Farah berdecak pelan, "Calon laki nggak perhitungan gitu harusnya disyukuri, Lam. Coba aja Bagas seloyal Rey."
"Bagas itu juga royal kok, cuma dia lebih hemat aja," balasku membela Bagas.
"Ini kok kita kayak tukeran jodoh sih?" Farah terkekeh. "Mungkin harusnya lo yang nikah sama Bagas, gue yang sama Rey, ya?"
"Far ...."
"Duh, posesif banget sama calon suami," goda Farah. "Udah dulu, ya Lam. Selamat kerja," katanya sebelum memutus panggilan telepon.
Sesaat setelah berakhirnya panggilan Farah tadi, satu pemberitahuan muncul di layar ponselku. Pesan dari Mas Rey.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Pretend
Ficción GeneralUntuk kedua kalinya Reyza Ardhian Pratama mengakui Sekar Nilam Kusumawati sebagai kekasihnya. Berbeda dengan sebelumnya, Rey melakukan hal ini bukan hanya untuk menyelamatkan Nilam, melainkan juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Rey pikir hubu...