[18] Rey

20.5K 2.8K 459
                                    

Membaca ini dapat menyebabkan diabetes sekaligus hypertensi 😂

—Fee
.
.
.

Nilam benar. Ketika kita menikmati waktu yang ada, satu bulan akan terasa begitu singkat. Nyatanya, nggak terasa hari pelaksanaan lamaran pun tiba. Sore ini, gue beserta rombongan baru saja tiba di depan kediaman Nilam. Kami sudah siap dengan beberapa hantaran yang berupa kue basah dan kering, serta buah-buahan.

Gue menarik napas dalam sambil menutup pintu mobil. Sekali lagi gue membenahi diri melalui kaca spion mobil. Mulai dari menyisir rambut dengan sisir yang gue simpan di saku celana. Sampai menepuk pelan kemeja batik yang gue kenakan. Membersihkannya dari debu yang mungkin menempel.

"Udah keren kok, Mas," suara Elis di belakang tubuh gue mengintrupsi. Secara otomatis gue berbalik dan menemukan senyum manis menghiasi wajah adik kesayangan gue ini.

Elis menyentuh kerah kemeja gue. Merapikannya sebentar, kemudian mengacungkan kedua ibu jarinya. "Udah ganteng kok, nggak bakal kebanting sama Nilam," ujarnya.

Gue mendengus pelan. "Kamu niat memuji Mas, nggak sih?"

Elis tertawa pelan. Tapi, tawanya terhenti saat Reka menarik rok berbahan songketnya. "Reka dong, Mama. Udah ganteng belum?" tanya bocah itu.

Gue hanya mampu memutar bola mata, berbanding terbalik dengan Elis yang kini sibuk mencubit pipi Reka dengan gemas. "Kakak ganteng banget," pujinya.

"Lebih ganteng dari Pakdhe, kan?"

Gue segera melemparkan tatapan tajam pada Reka. Ini bocah satu, kok makin ngelunjak ya? Sabar, Rey. Sabar, batin gue menasihati.

Tidak lagi mempedulikan Elis dan Reka. Gue berjalan ke depan, mendekat ke arah Papa dan Bian yang sedang berdiskusi. Papa tersenyum menyadari kehadiran gue. Menepuk pelan bahu gue, Papa bertanya, "Siap, Rey?"

"Siap dong, Pa," jawab gue tanpa ragu. "Akad sekarang juga Rey siap," lanjut gue.

Papa mencibir, "Dulu aja susah banget disuruh buruan melamar Nilam."

"Dulu ya, dulu. Sekarang ya, sekarang, Pa," sahut gue membela diri.

Kami memilih tidak melanjutkan perdebatan ketika kedua orang tua Nilam menyambut di depan rumah. Bukan hanya kedua orang tua Nilam, ada beberapa orang juga di sana. Gue nggak tahu pasti siapa. Mungkin anggota keluarga lain, atau tetangga dekat yang memang diundang.

Kami dihela memasuki rumah setelah bersalaman dengan beberapa orang yang terjangkau. Ruang tamu rumah Nilam sudah ditata sedemikian rupa agar muat menampung rombongan kami. Sofa yang sebelumnya ada di sana, diletakkan di teras rumah. Sedangkan lantai ruang tamu yang terasa lebih lenggang sudah ditutupi dengan karpet biru besar. Kebetulan juga gue nggak membawa terlalu banyak orang. Cukup dengan keluarga inti ditambah Tante Anita selaku mertua Elis, Tante Tika dan Om Adi dari keluarga Mama, serta tetangga samping rumah.

Acara lamaran dimulai setelah pembawa acara berbincang sebentar dengan Bian selaku juru bicara keluarga kami. Dimulai dari pembukaan, sambutan dari keluarga Nilam, sambutan dari keluarga kami sekaligus penyampaian maksud tujuan kami berkunjung oleh Bian, sampai pada akhirnya penyampaian jawaban dari Nilam dan keluarga atas lamaran gue. Semua berjalan cepat, terlalu cepat karena memang gue nggak terlalu fokus mengikuti jalannya acara lamaran ini.

Bagaimana gue bisa fokus? Dalam jarak sekitar satu setengah meter, Nilam ada di hadapan gue. Dia mengenakan kebaya biru muda—yang kata Elis itu warna baby blue. Yah, terserahlah warnanya apa. Di mata gue itu biru muda. Dia cantik banget. Rambutnya digelung rapi ke belakang dipermanis dengan bunga yang di sematkan di gelungan rambutnya. Mana si Nilam beberapa kali melemparkan senyuman yang ada manis-manisnya itu. Kalau aja bisa, nggak usah pakai acara lamaran segala. Gue udah siap kok menggenggam tangan Om Hari dan melaksanakan ijab kabul sekarang juga.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang