[14] Rey

22.6K 3.1K 419
                                    

Perjalanan pulang dari rumah Bian dan Elis, kami—gue dan Nilam—habiskan dengan aksi saling diam. Ini bukan berarti kami lagi berantem, nggak sama sekali. Lebih ke suasana canggung, apalagi sepertinya Nilam sadar kalau gue nggak sengaja mendengar apa yang dia obrolkan dengan Elis tadi.

Yah, gue memang mendengar semuanya saat berniat mengagetkan Nilam dan Elis yang nggak menyadari kehadiran gue. Bahkan sampai sekarang detail percakapan antara Nilam dan Elis yang terekam, terus berputar di pikiran gue.

"Mas Rey pernah tanya, kalau gue mau nggak dilamar sama dia."

"Terus, lo jawab apa?"

"Mau."

"Tapi, dia bilang itu hanya sekadar pertanyaan. Mungkin dia mau melihat reaksi gue, karena terus ditodong Om Sigit untuk menikahi gue."

"Papa maksa Mas Rey buat buru-buru nikah sama lo? Kenapa?"

"Yang jelas, Mas Rey sendiri nggak berniat menuruti keinginan Om Sigit. Dia mau menjalani hubungan kami dengan lebih santai sambil saling mengenal lebih jauh lagi."

"Terus, karena itu lo ragu sama Mas Rey?"

"Gimana ya, Lis? Gue juga nggak mau terburu-buru. Tapi, penjelasannya membuat gue berpikir ulang, dia pacaran sama gue buat apa? Dan semakin gue berpikir lagi, gue nggak tahu arah hubungan kami ke mana, Lis. Entah kenapa, gue merasa kalau Mas Rey sendiri masih nggak yakin untuk melangkah. Entah karena nggak yakin sama dirinya, atau malah sama gue."

Gue pengen marah, atau kalau bisa memukuli sisi pecundang gue yang udah membuat Nilam nelangsa seperti itu. Oh, ya ampun. Andai kamu tahu, Lam. Mas sayang kamu. Mas serius sama kamu. Mas cuma belum berani menerima fakta bahwa mungkin Mas bukan satu-satunya untuk kamu.

Tapi, itu tadi. Pecundang tetaplah pecundang. Semua yang gue pikirkan nggak pernah terucap. Satu-satunya sarana penyalur segala kegundahan hati gue hanyalah kemudi yang kini gue cengkeram dengan erat.

"Mas ..." Suara Nilam menyadarkan gue kalau kami sudah tiba di depan pagar rumahnya. "Makasih udah diantar sampai rumah," katanya dengan senyum melebar.

Nilam bertingkah seolah nggak ada yang terjadi di antara kami. Dia seolah nggak peduli sekali pun gue mendengar pembicaraannya dengan Elis. Karena Nilam juga nggak mau membahasnya, jadi gue putuskan untuk nggak mengungkit masalah itu. Anggap aja, gue memang nggak mendengar apa pun.

"Lam ...." Sebelum Nilam benar-benar turun dari mobil, gue menariknya mendekat. Memeluknya erat, sebagai tanda bahwa sesungguhnya gue nggak pernah rela melepaskannya.

"Mas?" Nilam menepuk bahu gue. Meminta agar gue lekas melepaskan tubuhnya. "Nggak enak kalau ada tetangga yang lihat," katanya. Bukannya melepas, gue malah semakin erat mendekap tubuhnya.

"Biarin lihat. Sekalian digrebek, terus kita dinikahkan," jawab gue nggak peduli.

Nilam tertawa. Nggak serenyah biasanya. Tawanya terdengar tertahan, nggak lepas sama sekali. "Yakin mau kalau dinikahkan sama aku?" tanyanya membuat sebagian hati gue terasa diremas.

"Yakin," jawab gue. Kini tubuhnya sudah nggak gue peluk lagi. Tapi, gue sama sekali nggak melepaskan tatapan dari Nilam. Supaya dia percaya kalau hubungan yang kami jalani itu serius dan nyata.

"Kalau belum siap, jangan dipaksakan," kata Nilam. Tangannya yang lembut menyentuh dagu gue. "Aku turun, ya Mas," pamitnya mengecup singkat bibir gue kemudian melangkah keluar tanpa menoleh ke belakang sama sekali.

Gue harusnya menahan kepergian Nilam. Gue harusnya menjelaskan kalau ucapan tadi serius, sama sekali bukan paksaan. Sayangnya, gue memang sepengecut itu untuk menyampaikan semuanya.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang