[13] Nilam

22.6K 3.1K 386
                                    

My ♡ : Kayaknya kita nggak bisa makan siang bareng :(

Sekitar 5 menit yang lalu Mas Rey mengirimkan sebuah pesan singkat untukku, tetapi belum sempat ku baca. Begitu membaca pesan darinya, helaan napas panjang tak dapat ku elakkan. Aku jelas kecewa karena tidak dapat menghabiskan istirahat siang bersamanya seperti biasa. Namun, aku menahan diri untuk tidak bersikap egois. Biar bagaimana juga Mas Rey harus bekerja demi keberlangsungan masa depannya. Masa depanku juga.

Me : Ya udah, nggak apa-apa

My ♡ : Beneran?
My ♡ : Biasanya kalau cewek bilang nggak apa-apa, artinya ada apa-apa

Aku tertawa membaca pesan balasannya.

Me : Teori dari mana?

My ♡ : Teori dari Profesor Radito Abhivandya

Me : Kan aku bukan cewek biasa, Mas

My ♡ : Oh iya
My ♡ : Kamu emang bukan cewek biasa
My ♡ : Kan pacarnya Mas 😊

Cukup dengan rayuan recehnya, Mas Rey sudah berhasil membuat senyumku melebar dan dadaku menghangat. Hanya sesederhana itu, tetapi bagiku sangat luar biasa. Mas Rey dan segala sikap manisnya yang semakin membuatku mabuk kepayang.

"Ngapain senyum-senyum gitu?" tegur Farah yang baru saja datang dan dengan baik hatinya membawakanku se-cup cappuccino hangat.

"Ini ... Mas Rey kasih kabar kalau nggak bisa makan siang bareng," jawabku menimbulkan kerutan di kening Farah.

"Kalian nggak jadi makan siang bareng, dan lo malah senyum-senyum?" tanya Farah. Aku tidak menjawab pertanyaannya, lebih memilih menyesap cappuccinoku sembari menahan senyum. Biar saja Farah penasaran. Karena kemanisan Mas Rey bukan sesuatu yang ingin ku umbar. Cukup aku saja yang merasakannya.

"Masa lo nggak kecewa, Lam?" tanya Farah lagi. "Kalau gue jadi lo, gue pasti ngambek."

"Nah ..." aku menjentikkan jari, "gue bukan lo, jadi jangan disamain lah," protesku. Tak lama Farah menunjukkan cengiran lebarnya, merasa bersalah karena menggenaralisasikan semua perempuan sama sepertinya.

"Yah, lo emang yang paling sabar," komentar Farah menganggukkan kepalanya. "Terus kemaren itu apa kabar sama pertanyaannya yang mau ngelamar lo?"

Aku nyaris tersedak mendapat pertanyaan semacam itu dari Farah. Aku memang belum sempat menceritakan perihal masalah itu pada Farah. Entah mengapa, tetapi yang pasti aku tidak ingin Mas Rey dihujat karena tidak benar-benar akan melamarku dalam waktu dekat. Kami sudah sama-sama sepakat untuk menjalani hubungan ini dengan santai, tidak terburu-buru. Selama itu, kami memanfaatkannya untuk mengenal satu sama lain lebih jauh.

"Lam?" Farah mengguncang lenganku. Aku mengerjapkan kelopak mata perlahan kemudian menatapnya dengan senyuman melebar.

"Kalau gue kasih kejutan Mas Rey, datang ke kantornya gitu sambil ngebawain makan siang buat kami, gimana?"

"Lam, lo belum jawab per—"

"Hmm ... tapi enaknya bawain apa ya, Far?" Lagi-lagi aku mengabaikan pertanyaan Farah dan terus saja mengalihkan pembicaraan.

Aku menyadari kalau saat ini Farah tengah menatapku lekat. Sebagai seseorang yang sudah mengenalku cukup baik, Farah pasti menyadari ada yang tidak beres denganku. Namun seperti biasa, Farah tidak akan menanyakan lebih lanjut jika aku tidak berkenan untuk membahasnya.

"Sebenernya, bagusan lo bawa masakan lo sendiri," lihat Farah dengan cepat mampu mengimbangi pengalihan topikku. Ia memang punya sikap seperti Aya, yang membuatku nyaman bercerita padanya. "Tapi karena nggak bakal sempet masak, beli aja apa gitu. Terus bawa ke kantor Mas Rey."

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang