[5] Nilam

24K 3.4K 205
                                    

Sesuai e-mail yang dikirimkan padaku sekitar 2 hari yang lalu, aku pun memenuhi undangan dari si penguntit. Tidak seperti dugaaku, bukan tempat sepi dan tersembunyi yang dipilih sebagai tempat pertemuan, melainkan restoran di pusat kota yang lumayan ramai oleh pengunjung. Oleh karena itu, ketakutanku sebelum ini perlahan mulai luntur. Setidaknya diriku merasa lebih aman, mengingat cukup banyak orang di restoran ini. Jadi, kupikir penguntit itu tidak akan berani berlaku kurang ajar kepadaku.

Getar ponsel dalam genggamanku menginterupsi. Sebuah notofikasi terlihat. Satu pesan dari Farah diterima, tetapi tidak segera kubaca. Secara garis besar, aku sudah dapat menerka isi pesan singkat Farah. Pasti tidak jauh dari kekhawatirannya akan pertemuanku dengan si penguntit. Sekitar 15 menit yang lalu, Farah sudah mengirimkan pesan serupa, mengingatkan kepadaku untuk menghubunginya jika terjadi hal yang membahayakan keselamatanku. Dan berturut-turut pesan singkatnya selalu datang, setidaknya 3 menit sekali. Membuatku bosan, hingga malas menanggapinya lagi.

Ponselku kembali bergetar beberapa saat kemudian. Kali ini bukan pesan singkat, tetapi sebuah panggilan. Bukan Farah, melainkan salah seorang sahabatku—Aya. "Halo?" sapaku kepada Aya yang berada di seberang sana.

"Lam, lo jadi ketemu sama orang sakit jiwa itu?" Bukannya membalas sapaanku, Aya justru mengajukan satu pertanyaan yang membuatku tersenyum geli.

"Mana ada orang sakit jiwa ngajakin ketemuan di restoran. Jam makan siang lagi," jawabku, meloloskan dengusan kesal Aya.

"Gue nggak lagi mau diajak bercanda, Sekar Nilam Kusumawati," sahut Aya dengan nada gemas yang begitu kentara.

"Siapa juga yang bercanda Kanaya Marantika?" balasku membuat Aya kembali mendengus.

Kedua sudut bibirku tertarik, membayangkan bagaimana wajah kesal Aya. Ini sedikit menghibur. Lumayan agar aku tidak terlalu gugup menantikan kehadiran si penguntit.

Ngomong-ngomong soal penguntit itu, dia sudah terlambat dari waktu perjanjian sekitar 10 menit. Dan aku berjanji akan pergi dari sini jika dia tidak juga menunjukkan batang hidungnya 5 menit dari sekarang. Persetan dengan dirinya yang akan terus mengusikku nanti. Jika kelewaan, aku bisa melaporkannya ke polisi. Tidak ada yang perlu kurisaukan lagi.

"Harusnya gue minta tolong aja sama Mas Rey beberapa hari yang lalu buat nemenin lo," kata Aya membuatku nyaris tergelak. Meminta tolong Mas Rey? Yang benar saja. Mana peduli dia dengan diriku. Siapa aku? Aku hanya teman adiknya yang manis. Tidak lebih dari itu.

"Mas Rey nanyain lo," Aya melanjutkan. "Walau dia nggak mau ngaku, tapi gue yakin kalau dia nyariin lo."

Senyum masamku terulas singkat. "Oh, ya? Gue merasa tersanjung," balasku.

"Gue serius, Nilam," kata Aya sungguh-sungguh. Aku ingin mempercayainya, tetapi sudah lelah berharap terlalu banyak. Tentu saja dia akan mencariku. Kami—aku, Aya, dan Vika—selalu datang bersama ketika mengunjungi Elis. Lelaki itu pasti akan merasa kehilangan karena tidak menemukanku di antara Aya dan Vika. Sama hal nya ketika Mas Rey menanyakan keberadaan dua sahabatku yang lain pada pertemuan terakhir kami sekitar 3 bulan yang lalu.

"Kalau lo masih mau bahas Mas Rey, mending ditutup aja teleponnya, Ay. Bukannya khawatir sama gue, malah tambah bikin baper," gerutuku disambut kekehan ringan oleh Aya.

"Yah, tadi lo dikhawatirin malah ngajak bercanda. Jadi, gue bikin baper sekalian."

"Sialan!"

Suara kekehan Aya kembali terdengar. Hanya sebentar, sebelum dia berdeham lantas kembali ke mode serius. "Pokoknya, kalau ada apa-apa hubungi gue," pesannya.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang