[30] Rey

31.5K 3.1K 165
                                    

Bohong kalau gue nggak merasa tersiksa saat berjauhan dengan Nilam seperti sekarang ini. Mati-matian gue menahan rasa rindu dan keinginan untuk menemui Nilam, salah satu caranya dengan menyibukkan diri. Bukan lagi menyibukkan diri dengan pekerjaan, tapi dengan segala urusan persiapan pernikahan yang ditinggalkan Nilam. Gue sampai rela memohon pada Bayu untuk mengalihkan pekerjaan—terutama yang berhubungan dengan Rena—pada Dito, alasannya agar lebih fokus mengurusi persiapan pernikahan gue. Untung aja Bayu menyetujui, meski taruhannya adalah potongan cuti menikah yang gue ajukan sejak sebulan yang lalu.

"Ngapain lo, Rey?" tanya Dito yang baru aja menduduki kursinya.

"Lagi pilih dekorasi," jawab gue.

"Belum ditentukan?"

Gue menggeleng. Gue pikir nggak banyak yang harus dilakukan, tapi ternyata masih banyak yang belum diselesaikan. Sedikit menyesal karena beberapa waktu yang lalu gue nggak banyak membantu Nilam mempersiapkan pernikahan kami. Andai gue lebih aktif membantu, mungkin nggak akan keteteran semacam ini. Padahal pernikahan akan dilangsungkan kurang dari tiga bulan. Dan belum ada perkembangan apa pun? Bahkan Nilam sempat meminta untuk dibatalkan. Memikirkan semua itu membuat kepala gue rasanya mau pecah.

"Sesuaikan sama bajunya aja, Rey," usul Dito.

"Maunya gitu sih," gue menanggapi. "Tapi, kami cuma buat baju untuk akad. Kalau resepsi, rencananya sewa aja sih."

"Lebih gampang sih kalau gitu, pakai paket-paket aja. Tuh, ada yang lengkap," Dito mengambil satu brosur. Ikut melihat dan memberikan rekomendasi yang kira-kira cocok dengan selera gue dan Nilam.

"Dit ...."

"Hmm?"

"Gue takut."

Kening Dito mengerut, "Takut kenapa?"

"Kalau semisal, Nilam tetap pada pendiriannya, semua yang gue lakukan ini bakal percuma," jawab gue.

"Yaelah, Rey," Dito berdecak. "Gini aja udah nyerah. Optimis, dong!" Dito menepuk bahu gue dengan keras. Berharapnya sih, dia kasih semangat. Tapi, tepukannya justru terasa sakit, sampai gue meringis menahannya.

"Nilam aja kuat bertahan bertahun-tahun buat nunggu lo. Lo segini aja udah nyerah. Tenang aja, Rey. Kalau udah jodoh, selalu ada jalan bagi kalian untuk bersama," lanjut Dito sok bijaksana.

Yah, Dito benar. Apa yang gue lakukan memang belum sebanding dengan penantian panjang Nilam. Bukan hanya menanti, Nilam juga menerima segala prasangka buruk gue mengenai dirinya. Mengingat itu kembali membuat gue merasa kerdil. Bahkan terkadang merasa Nilam itu terlalu baik untuk gue.

"Eh, Rey! Handphone lo bunyi, tuh!" Teguran Dito membuyarkan lamunan gue.

Gue membaca kontak yang tertera di sana. Seseorang yang sengaja gue hubungi sejak kemarin. Tapi, dia baru menanggapi hari ini.

"Nggak diangkat?"

Gue cuma mengangkat bahu sambil beranjak dari kursi. "Gue pergi dulu. Ada janji sama saingan berat."

Tanpa melihat respon Dito, gue bergegas meninggalkan kantor. Menuju tempat yang tertera pada pesan singkat yang baru gue terima. Pesan singkat dari saingan terberat gue. Penguntit Nilam, Daru.

※※※

"Jadi, ada apa kamu meminta bertemu dengan saya?" tanya Daru begitu gue selesai menyebutkan pesanan pada pelayan kafe. Bahkan pelayan itu belum pergi dari meja kami. Daru benar-benar nggak sabaran.

"Gue mau berbicara sebagai sesama laki-laki yang menyukai Nilam," kata gue setelah memastikan pelayan sudah cukup jauh dari meja kami.

"Oke, membicarakan soal apa?"

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang