Epilog

40.5K 3.4K 238
                                    

Nilam merasakan sensasi dingin di jari-jari kakinya ketika matanya mulai mengerjap menyesuaikan dengan cahaya remang-remang kamarnya. Sesungguhnya Nilam tidak terbiasa tidur dengan lampu menyala, seredup apa pun itu. Namun, sosok yang tertidur di sebelahnya mengubah kebiasaan tidur Nilam.

Suaminya, Reyza Ardhian Pratama.

Nilam tersenyum memandangi Rey yang tertidur memunggunginya. Entah mengapa, dengan melihat punggung itu membuat Nilam kembali mengingat kenangan terbaiknya. Saat bertemu Rey pertama kali. Punggung itu tidak berubah. Tetap terlihat nyaman untuk di peluk. Dan tidak seperti dulu yang hanya mampu mengagumi punggung Rey, sekarang Nilam benar-benar mampu memeluk punggung itu.

Perlahan Nilam memberi usapan pada punggung Rey, sebelum melingkarkan lengannya ke pinggang suaminya dan menyandarkan kepala di punggungnya. Kegiatan Nilam sontak membuat Rey terbangun. Lelaki itu tersenyum dengan mata terpejam, mengusap lembut jemari istrinya, kemudian tubuhnya mulai bergerak. Berniat berbalik dan melihat pemandangan yang selalu menjadi candu untuknya. Wajah Nilam di pagi hari.

"Jangan bergerak," Nilam mencegah Rey untuk berbalik. "Begini dulu, aku mau nostalgia."

"Nostalgia?"

Nilam mengangguk, Rey dapat merasakannya. "Tahu nggak, Mas. Punggung Mas itu bagian terfavoritku, lho."

"Oh, ya?"

Nilam lagi-lagi mengangguk. "Dulu aku cuma bisa mupeng ngelihatin punggung Mas setiap Mas balik dari nganterin camilan ke kamar Elis buatku dan teman-teman. Sekarang punggung ini benar-benar aku peluk."

Rey terkekeh mendengar pengakuan Nilam. Dia ingat, memang kerap kali mengantarkan camilan dan minuman untuk teman-teman Elis saat mereka berkunjung ke rumahnya. Hanya saja, dia tidak pernah merasa dikagumi oleh perempuan yang sudah tiga bulan belakangan menyandang status sebagai istrinya. Andai Rey menyadari bahwa Nilam mengaguminya sejak dulu, mungkin mereka tidak perlu mengalami konflik berkepanjangan untuk bersama.

"Mas penasaran, sejak kapan kamu suka sama Mas?" tanya Rey. Pertanyaan yang tidak beradi diajukan olehnya, karena takut pertanyaan itu akan menciptakan masalah.

"Sejak aku lihat punggung Mas."

"Waktu Mas nganterin camilan buat kamu dan teman-temanmu?"

Nilam mendesah pelan, lantas melepaskan dekapannya dari tubuh Rey. Membuat Rey yang merasa kehilangan, berbalik segera. Instingnya mengatakan kalau jawabannya salah dan mungkin membuat Nilam kesal.

Duh, jangan sampai ngambek, Rey memohon dalam hati. Bisa-bisa gue nggak dijatah. Padahal kan lagi enak-enaknya.

"Mas beneran lupa?"

"Soal?"

"Pertemuan pertama kita?"

Rey mengernyit, berusaha mengingat. Namun, ingatannya tidak kunjung bersarang di kepalanya. "Ehm, pertemuan pertama kita di rumah, kan? Waktu kamu dan yang lain minta dibantuin bikin pra karya."

Nilam juga mengingat kenangan itu. Untuk pertama kalinya dia menyebutkan nama di depan Rey saat meminta lelaki itu membantu menggergaji kayu untuk tugas prakaryanya. Namun, jelas bukan itu yang Nilam maksud. "Bukan," jawab Nilam. Mulai mengatur napas agar tidak emosi menghadapi Rey.

"Waktu aku mau jenguk Elis yang sakit cacar air. Mas nolongin aku yang diganggu preman," akhirnya Nilam memberitahu.

Rey mengerjap. Memorinya mulai mudah digali. Dia kembali mengingat kejadian bertahun-tahun silam. Dia memang sempat membantu teman Elis yang diganggu preman. Dan sekarang dia baru ingat kalau itu adalah Nilam.

"Astaga," Rey menggumam lirih. "Maksud kamu dulu Mas tolong dengan pura-pura jadi pacar adalah waktu itu?"

Nilam mengangguk. Ah, bahkan sampai sekarang suaminya juga belum mengingat kenangan yang Nilam anggap penting.

"Kamu suka sama Mas dari saat itu?" Nilam mengangguk lagi, membuat Rey semakin merasa bersalah. "Ya ampun, Nilam. Lama banget kamu nunggu Mas. Maaf karena Mas sama sekali nggak menyadari perasaan kamu itu."

"Nggak apa-apa," balas Nilam. "Setelah aku pikir lagi, nggak masalah juga Mas lupa. Berarti Mas memang tulus menolongku waktu itu, sampai langsung dilupain gitu."

Rey memang mengakui kalau dia tidak banyak berpikir saat menolong Nilam kala itu. Dia hanya melihat Nilam ketakutan dan insting menolongnya pun bekerja. Dan sesuai ajaran Papanya, setelah berbuat kebaikan, maka lupakan. "Sorry."

"Nggak apa-apa." Nilam tersenyum, lantas mengecup bibir Rey singkat. "Yang penting kita udah bersama, kan sekarang?"

Rey mengangguk setuju. "Mas akan menebus penantian panjang kamu selama ini."

"Dengan?"

"Cinta ... kasih sayang ... dan waktu terbaik kebersamaan kita," jawab Rey sembari mengusap pipi istrinya dengan ibu jarinya.

"Love you," Nilam berbisik, membuat tarikan lebar di kedua sudut bibir Rey.

"Love you too," balas Rey, memanggut bibir istrinya.
.
.
.

END

Selesai.... uyeeey...

Sebetulnya, epilog rencanyanya kelahiran anaknya Rey... tapi apa daya, setelah aku pikir ulang itu nggak nyambung... ahahaha...

Tapi aku ada rencana sih, bikin satu ekstra aja, biar puas yang nungguin anak Rey-Nilam... terutama tim yang ngejodohin Anza sama Thifa...

Pliiiiis adek gue masih keciiiil 😭😭😭 masih doyan dipeluk Maminya... Dan sejujurnya Thifa di lapak Anza cuman numpang lewat aja sih, biar Anza minta adek... ahahaha...

Oke, seperti biasa. Aku meminta kesan kalian buat cerita ini... yang biasa nggak bersuara, tunjukkan suaramu....

Buat cepat lambatnya ekstra... aku mau lihat peminatnya sih... 😜 jadi bakal dilihat respon kalian... kalo oke lanjut cepet, kalo nggak yaaah.. suka2 aku...

*Fee yang lagi minta dibujuk*

Bonus foto : Thifa ketika berusia 3 tahun nanti...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang