"Nilam ...."
Seharusnya, aku tidak menuruti perintah Mama untuk membukakan pintu rumah. Aku belum siap. Hatiku belum siap. Jika memang aku harus tegar menghadapi masalah, setidaknya jangan hari ini. Jangan, karena aku paham sekali bahwa hati ini masih terlalu lemah untuk bertemu dengan Mas Rey.
"Mas ..." aku menarik napas dalam. Berusaha untuk tetap terlihat tenang dan tampak tak terpengaruh dengan kehadiran Mas Rey. "Ada perlu apa ke sini pagi-pagi?" aku melanjutkan sembari melemparkan pandangan ke arah lain. Bukan takut, aku hanya menghindari kelemahan terbesarku. Tatapan teduh Mas Rey—yang terkadang bisa membuat kita mudah melupakan semua sifat menyebalkannya.
"Mau ketemu kamu," jawabnya dengan suara lirih. Aku mundur perlahan saat merasa Mas Rey maju selangkah mendekatiku. Dia meraih tanganku yang masih menggenggam kenop pintu, tetapi ku tepis dengan segera. Aku hanya tidak ingin hati ini semakin melemah karena sentuhannya. "Kita harus bicara, Nilam," katanya menarik lagi tangannya masuk ke saku celana.
"Kita akan bicara," kali ini aku memberanikan diri menatap tepat kedua mata Mas Rey. "Tapi nggak sekarang," aku melanjutkan dengan tegas.
"Tapi, Lam ... kita harus menyelesai—"
"Siapa, Lam?" Suara Papa mengintrupsi pembicaraanku dan Mas Rey.
"Om ...."
"Oh, Rey," Papa tersenyum lebar melihat Mas Rey berdiri di depan pintu masuk rumah kami. Papa masih bisa tersenyum dan beramah-tamah seperti itu karena tidak tahu-menahu mengenai masalah yang tengah dihadapi olehku dan Mas Rey. Aku sengaja belum menceritakannya, karena tidak ingin membebani pikiran Papa dan juga Mama nantinya. Selain, belum siap mengecewakan mereka dengan memberitahu pembatalan pernikahanku dengan Mas Rey.
"Kok nggak diajak masuk calon suaminya, Nilam?" tanya Papa mengusap rambutku.
"Nggak, Pa. Niatnya kami mau langsung berangkat," jawabku tersenyum melirik Mas Rey. Memberi kode untuk mengiyakan semua ucapanku.
"Katanya kamu lagi nggak enak badan, mau nggak berangkat?"
Ah, aku melupakan fakta bahwa tadi sempat mengeluh tidak enak badan. Semua bermula dari Mama yang menanyakan mengenai mataku yang membengkak subuh tadi. Aku beralasan sulit tidur hingga mendapatkan mata bengkak yang terlihat mengenaskan ini. Padahal sebenarnya kedua mataku bengkak karena menangis semalaman. Yah, menangisi lelaki bodoh yang sekarang sedang menatapku khawatir.
"Kamu sakit?" tanya Mas Rey. Oh, dia masih peduli?
"Cuma nggak enak badan," jawabku melirik Papa. Berharap Papa tidak mencurigaiku. "Kayaknya Nilam berangkat aja, deh Pa. Nilam kan harus menggantikan Farah selama dia pergi bulan madu."
"Yakin, nggak istirahat di rumah aja?" Papa memastikan.
Aku mengangguk sambil tersenyum untuk meyakinkan Papa. Melihat Papa membalas senyumanku, aku mengalihkan pandangan pada Mas Rey. "Tunggu sebentar, Mas. Aku ganti baju dulu."
Aku pergi menuju kamar. Meninggalkan Papa bersama Mas Rey, untuk bersiap berangkat bekerja. Baru selesai berganti baju, suara ketukan pintu terdengar. Tidak lama kemudian kepala Mama terlihat di celah pintu kamarku yang baru saja dia buka. "Kenapa, Ma?" tanyaku pada Mama yang sudah kembali menutup pintu dan duduk di pinggiran tempat tidurku.
"Kamu jadinya berangkat?" tanya Mama.
"Iya, itu Mas Rey sudah jemput," aku menjawab dibalas anggukan kepala oleh Mama.
"Kamu nggak ada masalah sama Nak Rey, kan?" tanya Mama membuat gerakanku memulas bibir dengan lipstik terhenti.
Aku mengerjap pelan, sambil berusaha menghindari tatapan Mama lewat pantulan di cermin. "Nggak," jawabku berbohong.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Pretend
General FictionUntuk kedua kalinya Reyza Ardhian Pratama mengakui Sekar Nilam Kusumawati sebagai kekasihnya. Berbeda dengan sebelumnya, Rey melakukan hal ini bukan hanya untuk menyelamatkan Nilam, melainkan juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Rey pikir hubu...