[24] Rey

20.5K 2.6K 200
                                    

Gue mengakui bahwa kandasnya hubungan gue dan Rena di masa lalu menimbulkan sedikit rasa trauma dalam diri gue, sampai detik ini. Gue takut disakiti lagi. Takut dikhianati lagi. Bisa dibilang yang gue lakukan saat ini merupakan respon dari segala ketakutan yang bersarang di benak gue selama ini.

Karena itu ketimbang menanyakan pada Nilam mengenai perasaannya yang sebenarnya, gue memilih bungkam dan merasakan sakit seorang diri. Daripada gue mengingat percakapannya dengan Farah beberapa waktu yang lalu, gue memilih menghindar untuk bertatap muka dan berinteraksi dengan Nilam. Sikap gue ini nggak sekadar menyakiti diri Nilam, tapi juga diri gue sendiri. Dan rasanya nggak adil kalau Nilam mengatakan bahwa dirinya yang selama ini tersiksa seorang diri.

Lalu perasaan gue, apa kabar?

"Mengenali hati Mas?" Gue bersuara agak keras hingga Nilam menghentikan langkahnya. Dia nggak berbalik, tetap diam dengan kedua telapak tangan mengepal di sisi tubuh. Perlahan gue mulai melangkah mendekati Nilam yang nyaris mencapai pintu masuk gedung tempat berlangsungnya pernikahan Farah. "Coba kita luruskan, Nilam. Siapa yang seharusnya mengenali hati? Mas atau kamu?" tanya gue tepat di sebelah telinga Nilam.

Nilam menoleh dengan cepat. Keningnya berkerut sempurna. Akting yang bagus sekali. Sampai gue nyaris percaya kalau dia benar-benar nggak mengerti dengan maksud pertanyaan gue barusan. "Kenapa, Lam? Kamu nggak bisa menjawab?" tanya gue lagi.

Nilam menggeleng, "Apa yang mau dijawab? Aku nggak ngerti maksud pertanyaan Mas."

Gue mengulum bibir, sedikit mengigitnya dengan keras buat mengurangi rasa sesak yang menyumbat pernapasan gue sekarang ini. Rasa khas darah kemudian terkecap, tapi nggak bisa mengalahkan rasa pahit yang sejak tadi gue telan bulat-bulat. Rasa pahit akibat mengingat lagi bahwa cewek yang gue cintai—calon istri gue, belum sepenuhnya menyerahkan hatinya pada calon suaminya ini.

"Soal mengenali hati, coba di balik. Yakin kalau yang ada di hati kamu itu adalah Mas?"

"Apa mak—"

"Cukup, Nilam," gue menyela dengan cepat. Lagi-lagi gue terlalu takut kalau Nilam nantinya berakhir mengaku dan menyebutkan nama cowok yang disukainya. "Kamu renungkan dulu sebelum menjawab, seperti kamu meminta agar Mas mengenali siapa yang menempati hati ini," lanjut gue menunjuk dada gue sendiri. Setelahnya gue memilih pergi, meninggalkan Nilam yang sempat memanggil gue untuk meminta penjelasan lebih.

※※※

Meninggalkan gedung tempat pernikahan Farah, gue nggak langsung pulang. Gue malah berputar-putar mengelilingi jalanan ibu kota tanpa tujuan yang jelas. Tadinya gue berpikir untuk menemui Rena. Tapi gue nggak enak kalau terus-menerus membebani Rena dengan masalah yang nggak ada sangkut pautnya dengan cewek itu. Berakhirlah gue berkeliling nggak jelas, hingga berhenti di salah satu minimarket dekat dengan rumah Bian.

"Mas?"

Gue yang lagi melamun, tersentak begitu tangan Bian menyentuh bahu gue. Dengan wajah tanpa dosa, adik ipar gue itu tersenyum dan duduk di sebelah gue. "Sprite?" tanya Bian menatap satu botol Sprite ukuran kecil di meja bulat yang disediakan di depan minimarket yang buka 24 jam ini.

"Gue lagi pusing," ungkap gue sambil mengacak rambut yang udah mulai panjang. "Tapi, gue nggak bisa minum bir dan yang lainnya. Jadi, gue minum Sprite aja," lanjut gue membuat Bian tertawa.

"Saya juga nggak bisa minum yang seperti itu," kata Bian entah bohong atau jujur. Selama ini gue belum pernah lihat dia minum. Tapi, gue nggak yakin kalau yang model Bian nggak pernah minum.

"Tapi saya lebih suka Coca Cola dibanding Sprite," kata Bian melirik ke dalam minimarket. Astaga, padahal gue panggil Bian ke sini bukan buat mentraktir dia minum, tapi buat mendengarkan curhatan gue. Bisaan banget si Bian memanfaatkan kesempatan.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang