[8] Rey

24.5K 3.5K 369
                                    

Gue rasa, gue baru melakukan hal terbrengsek di sepanjang usia gue.

Mama pernah wanti-wanti gue, buat bersikap baik sama yang namanya perempuan. Mama juga bilang kalo hati perempuan tuh kaya kaca, rapuh, harus dijaga jangan sampe rusak dan pecah. Kalo sekalinya gue nyakitin perempuan, hukum karma berlaku. Gue nggak akan hidup bahagia.

Dan baru aja gue nyakitin hati seorang perempuan. Perempuan itu adalah Clara. Perempuan yang udah hampir satu tahun rela gue ajak dari kondangan satu ke kondangan lainnya. Perempuan yang sangat sabar menghadapi gue yang terlampau kasar sama dia. Perempuan yang masih menyukai gue, meski udah ditolak berulang kali.

Melihat dia tadi pergi dari hadapan gue dan Nilam dengan ekspresi penuh luka, gue jadi merasa bersalah. Tapi, ini harus gue lakukan supaya dia nggak lebih sakit lagi. Gue harus berhenti memberi harapan sama Clara, meski harus memanfaatkan Nilam.

Sekarang, gue jadi lebih merasa brengsek lagi karena udah memanfaatkan Nilam.

"Mas Rey?" Suara lembut Nilam mengintrupsi gue. Jari-jari lentiknya juga menyentuh lengan gue, membuat sengatan terasa lagi, mengalir hingga menyentuh batas sanubari.

Duh, Rey. Sejak kapan lo puitis seperti ini?

Gue menutup mata sebentar, sambil menggeram dalam hati. Jangan sampai gue hilang kendali. Fokus nyetir. Fokus sama jalan. Berkali-kali gue mengingatkan diri sendiri.

"Mas?" Suara Nilam terdengar lagi. "Lampunya udah hijau," katanya bersamaan dengan bunyi klakson di belakang mobil gue.

Gue seketika tersadar. Dan dengan cepat melepaskan rem dan menginjak gas. Melajukan mobil kembali dan sempat kena sentakan klakson ketika mobil di belakang gue berhasil menyalip.

"Mas ngelamunin apa, sih?" tanya Nilam. "Cewek yang tadi?" tanyanya lagi lebih hati-hati.

"Iya," jawab gue jujur. "Mas jadi merasa bersalah gitu sama Clara," aku gue sama Nilam.

"Merasa bersalah karena ngakuin aku sebagai pacar di depan dia?" Gue menggeleng tegas. "Bukan!"

"Mas merasa bersalah karena udah sering nyakitin dia. Kalau kata Elis, Mas udah terlalu sering ngasih harapan palsu sama Clara. Nggak pernah tegas kalau nolak dia," jelas gue membuat Nilam menganggukkan kepalanya.

Setelah itu Nilam diam. Nggak bicara lagi. Dia juga memalingkan muka dari gue. Lebih senang lihat lampu-lampu di jalanan kota dari pada lihat gue. Apa gue nggak semenarik itu?

"Lucu nggak sih, Mas?" tanya Nilam tiba-tiba membuat gue tersentak. Dia melirik gue sekilas sambil tersenyum, kemudian melemparkan pandangan lagi ke luar jendela mobil.

"Aku ngaku-ngaku jadi pacar Mas Rey buat menyelamatkan diri. Dan sekarang Mas melakukan yang sebaliknya," Nilam tersenyum lagi. Pandangannya terlihat menerawang, seolah sedang mengenang sesuatu. "Samaan banget sama yang dulu, nggak sih?"

Gue mengernyit. Dulu? Gue emang pernah merasakan situasi seperti ini. Tapi, gue nggak ingat kapan pernah mengalaminya. "Oh, ya?"

Nilam tersenyum sebentar. Di balik senyumannya, Nilam terkesan menyembunyikan sesuatu. Entah apa, yang jelas sorot matanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam. "Ya udahlah, Mas. Udah lama juga. Nggak usah diingat lagi," kata Nilam kemudian kembali membuang muka ke arah jendela mobil.

Bibir gue udah terbuka. Berniat menanyakan maksud Nilam tadi. Tapi, suara gue nggak mau keluar juga. Tertelan sama kekecewaan pada diri gue sendiri. Apa sih yang udah gue lupain?

O0O

Sampai hari berikutnya, gue masih nggak inget sama apa yang dimaksud Nilam. Gue udah sampai begadang, tidur cuma 2 jam, tapi kenangan yang dimaksud Nilam sama sekali nggak ada yang terlintas di otak gue. Ya masa, gue mengalami amnesia parsial. Gue kan nggak mengalami kecelakaan seperti lakon-lakon di sinetron kebanyakan, yang setelah kecelakaan terus akan mengalami amnesia.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang