"Perasaan ini datang tanpa bisa gue cegah. Dan nggak bisa gue lenyapkan meski gue menginginkannya. Bahkan ketika gue merasa nggak ada harapan lagi buat menyentuh hatinya, gue tetap menyimpan namanya di hati."
Gue mengacak rambut frustasi, tiap kali mengingat sepenggal ucapan Nilam pada Farah dua malam yang lalu. Seharusnya gue nggak melarikan diri seperti pengecut malam itu. Apalagi sampai menggunakan nama Bayu untuk kabur. Padahal yang gue lakukan semalaman nggak lebih dari mengelilingi jalanan tanpa tujuan.
Lebih parah lagi, gue justru membiarkan Nilam pulang sendiri. Dan hingga detik ini gue masih belum berani menghubungi Nilam lebih dulu. Pikiran gue terlalu kacau untuk melakukan itu semua.
Gue terlalu percaya diri memang. Menganggap bahwa kebersamaan kami mampu menggantikan perasaan Nilam pada cowok yang dia puja selama ini. Karena nyatanya, move on memang nggak semudah itu.
Mendesah pelan, gue menatap layar handphone dalam genggaman tangan. Ada foto Nilam di sana. Tersenyum dengan manisnya. Senyum yang selama ini dia bagikan pada gue. Senyum yang membuat gue menyangka bahwa hatinya udah dipenuhi oleh nama gue seorang.
Ah, betapa berbakatnya Nilam berakting. Bahkan gue sampai nggak menyadari kalau hingga sekarang inu dia masih belum bisa melupakan cowok brengsek yang sampai sekarang belum gue ketahui siapa namanya.
"Kalau emang belum bisa, kenapa kamu harus pura-pura sayang sama Mas sih, Lam?" gumam gue mengusap wajahnya yang terpampang di layar handphone.
"Rey?"
Gue tersentak ketika Rena menyentuh bahu gue. "Ya?"
"Syutingnya udah selesai," pandangannya mengedar sebentar sebelum balik lagi menatap gue. "Kamu nggak pulang?"
Gue mengikuti arah edar Rena sebelumnya. Memang sudah dibereskan. Bahkan beberapa kru saat ini sedang mengangguk pada gue dan Rena untuk berpamitan. "Kalau lo mau pulang, duluan aja. Gue masih mau di sini," kata gue pada Rena.
"What's wrong with you?" tanya Rena khawatir.
Gue nggak menjawab pertanyaannya. Hanya mengulas senyum sebagai bukti bahwa nggak ada yang salah sama diri gue. Tapi, kelihatannya Rena nggak percaya. Terbukti, dia langsung mengambil satu kursi untuk duduk di sebelah gue. Menuntut agar gue bercerita padanya.
"Rey," Rena mengusap bahu gue, "kamu bisa cerita sama aku kalau ada masalah," katanya.
Gue tertawa mendengar perkataan Rena. "Atas dasar apa gue harus cerita semuanya sama lo? Gue nggak inget kalau kita temenan."
Gue mengatakan yang sebenarnya. Kami nggak seakrab itu, sampai gue rela membagi masalah gue pada Rena. Yang ada gue malah ingin segera menjauhi dia. Karena bekerja sama dengan mantan pacar membuat gue kurang nyaman. Akhirnya, gue mati-matian menyelesaikan pekerjaan ini sampai beberapa kali mengingkari janji dengan Nilam hanya agar tidak berurusan lagi dengan Rena.
Rena menghela napas panjang. "Sampai kapan sih, kamu bakal giniin aku?" tanyanya dengan sorot mata terluka. "Apa lagi yang harus aku lakukan agar kamu bisa memaafkanku, Rey?"
Gue mengangkat bahu. "Dapat karma yang setimpal, mungkin," jawab gue sembarangan.
Nggak ada balasan dari Rena. Begitu gue melirik, matanya tampak diselimuti kabut air mata. Cewek dan air matanya. Kombinasi yang paling nggak gue sukai. Karena itu akan melemahkan hati gue.
"Selamat, Rey," kata Rena membuang muka sambil mengusap air mata yang di kedua pelupuk matanya. "Aku mendapatkannya. Karma yang kamu maksud," lanjut Rena.
"Maksudnya?"
Rena hanya menggeleng pelan. Tanpa berpamitan dia sudah bangkit dari kursi. Meninggalkan gue bersama kesunyian langit sore dan angin pantai. Perasaan bersalah memenuhi batin gue. Astaga, Rena benar-benar dapat balasannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Pretend
General FictionUntuk kedua kalinya Reyza Ardhian Pratama mengakui Sekar Nilam Kusumawati sebagai kekasihnya. Berbeda dengan sebelumnya, Rey melakukan hal ini bukan hanya untuk menyelamatkan Nilam, melainkan juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Rey pikir hubu...