"Apa ini, Dhik?" Aku menerima sebuah benda tipis berwarna merah marun dari tangan Andhika. Andhika tidak menjawab pertanyaanku, hanya mengulas senyum tipis yang sukses membuatku penasaran.
Keningku mengerut ketika melihat dua huruf terpampang cukup besar di sana. Huruf berwarna emas. Inisial dari nama dua insan, yang disatukan dalam gambar berbentuk hati. Kelopakku mengerjap beberapa kali, mencerna apa yang terbaca di sana. Selain terdapat sepasang inisial itu, juga tertulis jelas namaku. Sekar Nilam Kusumawati.
"Ini ...." Ekor mataku menangkap senyum kelewat lebar mulai menghiasi paras Andhika. Belum juga aku mulai mengajukan spekulasi, lelaki itu mengangguk seakan dapat membaca apa yang kupikirkan. "Undangan pernikahan."
"Kamu?!" Aku memekik tidak percaya. Selama tiga bulan kami putus komunikasi, dan tiba-tiba saja Andhika menghubungiku kemarin, minta untuk bertemu. Kupikir, dia hanya ingin temu kangen denganku yang sudah menyandang status sebagai mantan kekasihnya. Namun, ternyata ... Andhika menemuiku untuk memberitahukan mengenai kabar bahagia ini.
"Siapa lagi?" Andhika terkekeh. Aku tidak berbohong jika tawa kecilnya merupakan satu hal yang cukup kurindukan, menjadi favoritku saat menjalin kasih dengannya dulu. "Kenapa? Kaget? Nyesel pernah menolak lamaranku?"
Dengusanku lolos begitu saja. Andhika yang begitu tenang berubah menjadi lelaki yang kelewat percaya diri. "Aku cuma kaget. Harus banget gitu nikah secepat ini?" gerutuku, mencebikkan bibir.
Andhika meringis, merasa tidak enak hati. Padahal semua yang terjadi bukan kesalahannya, aku yang menolaknya. "Aku hanya merasa nggak perlu menunda lagi," katanya dengan tenang. "Kamu tahu sendiri aku sudah menabung untuk persiapan pernikahan. Aku juga sudah cukup mapan baik lahir, maupun batin. Jadi, kenapa harus ditunda? Toh, aku sudah mengenal calonku cukup lama," lanjutnya.
Kepalaku mengangguk, membenarkan ucapan Andhika. Ia dan calon istrinya—Mustika—memang sudah bersahabat sejak mereka mengenyam bangku perkuliahan. Selama bertahun-tahun membina persahabatan yang cukup erat, keduanya tidak pernah menunjukkan hubungan lebih dari itu meski aku menyadari bahwa kerap kali Mustika menatap sendu ketika melihatku dan Andhika bermesraan.
Mustika memang menyimpan rasa pada Andhika, entah sejak kapan. Andhika pun demikian, mengaku sempat memiliki perasaan lebih pada sahabatnya itu. Akan tetapi, lelaki itu lebih memilih menepis perasaannya dengan dalih untuk menjaga hubungan baik mereka. Dan yah, yang namanya jodoh tidak akan lari ke mana. Ketika seseorang mencari, ternyata yang dirinya cari begitu dekat tanpa pernah diduga.
Aku tersenyum masam. Andai saja orang yang kutunggu pun menyadarinya. Bahwa yang dirinya cari selama ini begitu dekat.
"Lam?" Andhika mengibaskan telapak tangannya di depan wajahku, membuyarkan lamunanku seketika. "Kok melamun? Sedih karena ditinggal nikah mantan?" godanya membuatku terkekeh.
"Iya, nyesek gimana gitu rasanya," balasku memegangi dada, bertingkah seolah merasa tersakiti. Kemudian tawa kami pecah.
Tawa Andhika terhenti lebih dulu. Tatapan lelaki itu melembut, membuatku sedikit salah tingkah. Meski Andhika tidak berhasil menjerat hatiku, tetap saja ada sedikit rasa tertarik yang pernah hadir untuknya. "Aku udah sampai sini, kamu bagaimana, Nilam?"
Bibirku menipis. Lebih terlihat mengulum bibir, daripada tersenyum. "Masih begini aja. Belum dapat korban lain," jawabku berkelakar. Memang, setelah putus dari Andhika, aku tidak berniat menjalin hubungan asmara dengan lelaki yang tidak kuinginkan lagi meski banyak yang cinta yang ditawarkan. Tujuannya, agar tidak banyak lagi hati yang kupatahkan.
Andika terlihat meloloskan desahan panjangnya. "Sampai kapan kamu begini? Sampai kapan kamu mau menunggu Reyza?"
Aku menggedikkan bahu sembari menggeleng pelan. "Aku nggak tahu," jawabku. "Aku bukannya nggak mau mencoba melepaskan perasaan ini, Dhika. Tapi, emang nggak bisa. Mas Rey terlalu kuat menjerat hatiku. Memenjarakannya, sampai aku tidak bisa lari meski pun ingin," lanjutku memegangi dada yang mulai terasa nyeri. Selalu saja rasa nyeri itu hadir ketika bahasan soal Mas Rey naik ke permukaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Pretend
General FictionUntuk kedua kalinya Reyza Ardhian Pratama mengakui Sekar Nilam Kusumawati sebagai kekasihnya. Berbeda dengan sebelumnya, Rey melakukan hal ini bukan hanya untuk menyelamatkan Nilam, melainkan juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Rey pikir hubu...