[16] Rey

20.6K 2.9K 268
                                    

Semua usaha gue nggak sia-sia. Dari menahan siksaan batin karena terus menghindari Nilam, memohon pada atasan Nilam dan Farah untuk bekerjasama dalam prosesi lamaran ini, sampai meminta Dito mengiringi nyanyian gue dengan gitar. Karena pada akhirnya gue bisa menggenggam tangan Nilam yang saat ini bukan hanya sekadar pacar, melainkan calon istri.

Uhh, calon istri lho. Calon istri.

"Mas?" Suara Nilam menyadarkan gue. "Kok senyum-senyum begitu?" tanyanya.

"Mas lagi senang," jawab gue membuat Nilam mengernyit. "Soalnya cewek cantik di sebelah Mas udah jadi calon istrinya Mas," lanjut gue membuat Nilam tertawa.

"Lam, jangan ketawa gitu dong," pinta gue membuat Nilam menghentikan tawanya. Tapi, bibirnya masih melengkung dengan manis.

"Senyum juga jangan," tambah gue, sukses menambah jumlah kerutan di dahi Nilam.

"Kenapa?"

"Soalnya kalau kamu ketawa atau senyum manis gitu, Mas nggak bisa konsentrasi nyetir," jawab gue. Kali ini nggak ada lagi senyum bahkan tawa, tetapi rona kemerahan nyaris mewarnai keseluruhan wajah cantik pacar—eh, calon istri gue ini. Duh, konsentrasi gue makin terpecah. Bawaannya mau peluk Nilam aja kalau dia pasang wajah malu-malu begitu.

Tahan, Rey! Tahan! batin gue memperingati.

Syukurlah gue dapat menahan diri sampai kami tiba di rumah Nilam. Berbeda dengan hari sebelumnya, kali ini gue nggak membiarkan Nilam membuka pintu mobil sendiri. Dengan cekatan, gue segera keluar dari mobil, dan membukakan pintu untuk calon permaisuri gue ini. Nggak cuma itu, gue juga mengantarkan Nilam sampai ke depan pintu rumah. Bukan lagi cuma sampai depan gerbang seperti sebelum-sebelumnya.

"Mmm ... Lam—" Cklek .... Baru aja gue mau meng-gombal ria, pintu rumah Nilam udah terbuka. Gue sih berharap kalau yang membukakan pintu adalah Mama-nya Nilam. Sayangnya bukan, yang membukakan pintu rumah justru Om Hari, selaku Papa Nilam.

"Eehhem ...." Om Hari alias calon mertua udah pasang ekspresi datar dengan lengan terlipat di depan dada. Matanya menatap tajam gue yang saat ini bergandengan mesra sama putri sematawayangnya.

"Malam, Om," sapa gue pada Om Hari.

"Malam," balas Om Hari singkat. Dan seketika itu juga udara dingin seakan menyelimuti suasana di antara kami dan berhasil membuat gue merinding.

"Mau langsung pulang, Rey?" tanya Om Hari. Gue maunya jawab belum, cuma kesannya Om Hari udah nggak betah gitu lihat muka gue. Jadi, gue pun dengan berat hati mengangguk pelan.

"Kalau masuk dan ngobrol dulu sama Om, bisa?" tanya Om Hari lagi. Oh, gue salah menduga saudara-saudara! Ternyata Om Hari sama sekali nggak berniat mengusir, malah menyuruh gue masuk dan berbincang sama beliau. Tapi, tetap aja perasaan gue nggak enak. Sayangnya, Om Hari terlihat nggak mau menerima penolakan dari gue.

"Bisa, Om," jawab gue pada akhirnya. Kepala gue secara otomatis menoleh pada Nilam. Dia tersenyum lembut, seakan memberikan semangat sekaligus energi agar gue bisa menghadapi Papanya. Setelahnya calon permaisuri gue itu masuk ke rumahnya terlebih dulu, yang kemudian diikuti oleh Om Hari. Sedangkan gue masih berdiri di tempat. Menarik napas panjang, sekaligus berdoa. Semoga aja perbincangan dengan calon mertua berjalan lancar.

O0O

Kalau nggak salah ingat, hanya ada 3 hal yang membuat gue gugup sampai berkeringat dingin seperti ini. Pertama, saat gue sunat di Juru Supit Bogem Jogja. Waktu itu gue bacanya bukan supit, tapi sumpit. Yah, gue yang semula santai mendadak takut gitu. Kebayang nggak sih sunat pakai sumpit? Udah mungkin sakit, juga membutuhkan waktu yang nggak sebentar. Walau setelahnya gue baru paham, kalau supit adalah nama lain dari sunat. Yah, namanya juga pikiran anak kelas 5 SD.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang