[11] Nilam

22.1K 3K 106
                                    

Pengalaman berpacaranku memang banyak, bahkan kalau diminta menghitung pun mungkin ada yang terlewat. Sayangnya, sejauh aku mengingat, belum ada hubungan yang membuatku sesemangat serta sebahagia ini. Bukan berarti aku tidak menjalani hubungan yang serius dengan para mantanku, tetapi pada mereka aku hanya menanggapi ala kadarnya. Ketika diberi perhatian berlebih, jelas aku tersanjung. Namun, tidak sampai membuatku menantikan kejutan apa lagi yang mereka siapkan untukku.

Berbeda dengan hubunganku dengan Mas Rey, aku selalu menantikan hari esok segera tiba. Aku mencoba menerka, apa lagi kejutan yang dia siapkan untukku. Walau itu hanya sekadar sapaan selamat pagi pun sudah cukup untuk membuat senyumku terulas. Mungkin ini efek samping karena berharap serta memendam perasaan terlalu lama.

"Dari tadi Mama perhatikan kamu senyum-senyum terus, Lam," kata Mama yang tengah meletakkan secangkir teh untuk Papa. Perkataan Mama sontak membuat Papa mengalihkan perhatiannya dari koran yang sedang beliau baca. Ternyata bukan hanya Mama yang penasaran dengan sikapku.

"Emm ... itu ...." Suara ketukan pintu menyelamatkanku. Mendesah pelan aku meminta izin pada Papa dan Mama, membukakan pintu untuk tamu yang baru datang. Ketika dipersilakan, aku segera melesat menuju pintu depan. Kalau sesuai dugaan, pasti yang datang adalah Mas Rey.

"Hai," sapa Mas Rey begitu aku membuka pintu. Senyum lebarnya menular padaku, membuat hariku lebih berwarna lagi.

"Hai," balasku. "Mau berangkat sekarang?"

"Emang kamu udah selesai sarapan?" tanya Mas Rey. Aku mengulum bibir secara otomatis, menyembunyikan cengiran lebar karena merasa senang diperhatikan oleh pujaan hatiku.

"Belum, baru mau sarapan," jawabku. Ia berdecak, lantas mencubit pipiku.

"Selesaikan sarapannya dulu, baru berangkat," katanya menasihati. "Om sama Tante di dalam?" tanyanya sembari melongokkan kepala di sela antara tubuhku dan ambang pintu.

"Iya, mau masuk, Mas?"

Mas Rey mengangguk. "Harus dong. Kan Mas belum izin memacari putri mereka yang cantik ini."

Aku mencubit pinggangnya gemas. "Udah gombal aja pagi-pagi."

"Gombal apanya? Kan emang pacarnya Mas cantik pakai banget."

Aku hanya terkekeh menanggapi pujiannya yang berlebihan. "Ya udah, ayo masuk."

Aku mendampingi Mas Rey memasuki rumah, ke arah meja makan yang kebetulan dekat dengan dapur. Hanya saja, di antara dapur daan meja makan terdapat sekat berupa dinding, sehingga aktivitas memasak tidak dapat terlihat dari sana.  Papa dan Mama menyadari keberadaan kami segera. Kening Papa tampak mengerut memperhatikan Mas Rey, begitu pun Mama. Hanya saja kerutan di kening  Mama lebih dulu menghilang, berganti dengan senyum lebar untuk Mas Rey.

"Tumben pagi-pagi udah ke sini, Rey?" tanya Mama.

Mas Rey tidak langsung menjawab. Ia memilih mendekati kedua orang tuaku terlebih dahulu, bersalaman sembari menanyakan kabar pada mereka. Papa dan Mama jelas menyambut baik sikap Mas Rey tersebut.

"Sarapan, Rey," tawar Papa. Mas Rey mrngangguk pelan, tetapi bukan berarti menerima tawaran Papa. "Sudah sarapan di rumah tadi," ucapnya kemudian.

"Tapi, kalau teh mau, kan?" tanya Mama.

"Boleh," jawab Mas Rey tersenyum tipis.

"Buatin buat Rey, Lam," perintah Mama.

Tanpa membantah, aku bergegas pergi ke dapur. Menyeduhkan secangkir teh untuk Mas Rey. Selama kegiatanku menyeduh teh, pikiranku berkelana ke masa depan. Masa di mana kegiatan ini akan menjadi sebuah rutinitas di pagi hari, ditambah menyiapkan sarapan Mas Rey dan anak-anak kami. Oh, ku rasa pikiranku menjelajah terlalu jauh.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang