Clara O. Kananta : Miss you, Reyza
Gue mendesah pelan setelah membaca chat yang dikirim Clara sekitar 5 menit yang lalu. Ada sesal yang gue rasakan selepas membuka chat yang dikirimkan cewek itu. Harusnya gue nggak iseng buka chat-nya. Jadi, gue nggak perlu menorehkan luka di hati Clara karena sengaja nggak ngebales chat-nya itu.
Katakan gue brengsek. Tapi, gue hanya berupaya bersikap tegas seperti yang disarankan Elis beberapa hari yang lalu. Gue harus berhenti memberi harapan palsu sama Clara. Jalan satu-satunya adalah dengan menghindari serta mengabaikan cewek itu, mengingat gimana keras kepalanya Clara yang terus mendekat meski berulang kali ditolak. Gue nggak tega sebenernya, tapi lebih nggak tega lagi kalau bikin cewek sebaik Clara sakit hati karena ketidaktegasan gue.
"Rey!" Panggilan Dito menginterupsi gue hingga menoleh ke arahnya. Lepas menjatuhkan bokongnya ke kursi, Dito menyodorkan sesuatu. Gue nggak tahu itu apa, tapi sepertinya itu sebuah undangan.
"Dari siapa?" tanya gue menerima undangan tersebut. Tanpa menunggu jawaban Dito gue langsung aja membuka undangan itu. Memastikan siapa lagi yang telah berhasil memantapkan hati untuk mengikat janji suci sehidup semati.
"Andhika ... Mustika ...." Gue mendadak linglung membaca nama Andhika di undangan ini. Ini itu ... Andhika mantannya Nilam?
"Tadi ada yang nitip itu di meja resepsionis," kata Dito menerangkan. "Calon pengantinnya kenalan lo, Rey?" tanyanya penasaran.
Gue mengangguk pelan. Pikiran gue nggak sepenuhnya berada di sini. "Mempelai laki-lakinya ... mantannya mantan lo," jawab gue.
"Ha?" Gue nggak menggubris tatapan kebingungan Dito. "Kok gue pusing denger jawaban lo, Rey," celetuknya kemudian membuat gue mendengus kesal.
"Mantannya mantan lo, Dito!"
"Kebanyakan kata mantan, Rey!"
Bola mata gue terputar mendengar keluhan Dito. Sumpah, sobat gue sejak mengenyam bangku perkuliahan ini ternyata lebih telat mikir ketimbang gue. "Mantannya Nilam. Nilam kan mantan lo!"
Dito membulatkan mulutnya, kemudian mengangguk mengerti. "Tinggal bilang aja mantannya Nilam. Pake muter-muter segala nyebut mantan gue," katanya menanggapi.
"Kan emang mantan lo!"
"Nggak usah lo ingetin, bego!"
Gue tergelak menyadari gimana asemnya muka Dito. "Gitu amat, Bang mukanya? Masih baper sama mantan?" Gue mencolek dagu Dito dan ditepis langsung sama cowok itu. "Inget bini sama anak di rumah, Dit!"
"Gue nggak baper!" sanggah Dito. "Gue nggak suka aja lo ngungkit soal Nilam itu mantan gue," gerutunya.
"Lha kan emang mantan," balas gue, masih betah ngegodain Dito.
Dito berdecak. "Gue lebih nggak suka lagi kalau yang ngebahas mantan gue yang satu itu adalah lo—cowok ter-nggak peka sepanjang zaman," katanya menunjuk muka gue.
"Apaan, sih?!" Gue menyingkirkan jari telunjuknya yang mengacung tepat di depan hidung gue. Gue masih nggak ngerti maksud Dito, tapi mau tanya pun percuma. Dito kayaknya nggak bakal mau ngejelasin. Mukanya aja udah ditekuk gitu.
Perhatian gue kembali fokus ke undangan yang ada di tangan gue. Entah kenapa, ada yang mengganjal aja melihat nama Andhika tertulis di sana. Terlebih ada nama lain yang tertulis di sana. Mustika ... bukan Nilam. Nama cewek yang beberapa bulan lalu masih menyandang status sebagai pacarnya Andhika. Nama cewek yang beberapa bulan lalu hendak dipinang Andhika. Nama cewek yang beberapa waktu belakangan ini memenuhi pikiran gue, terlebih setelah kejadian terakhir kali di restoran—saat gue menyelamatkan Nilam dari penguntit dengan mengakui diri sebagai pacar cewek itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Pretend
Fiction généraleUntuk kedua kalinya Reyza Ardhian Pratama mengakui Sekar Nilam Kusumawati sebagai kekasihnya. Berbeda dengan sebelumnya, Rey melakukan hal ini bukan hanya untuk menyelamatkan Nilam, melainkan juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Rey pikir hubu...