[25] Nilam

22.1K 2.9K 228
                                    

Maafkan karena nggak menepati janji ... belum hari sabtu, tapi udah update aja 😥

Soalnya, aku kayaknya nggak bisa up sabtu nanti ... buat selanjutnya ... sesuai jadwal, ya 😉

—aku yang sedang mengejar masa depan—

※※※

Banyak hal yang mengganggu pikiranku, terutama mengenai perkataan Mas Rey kemarin sebelum meninggalkanku di acara pernikahan Farah. Seharusnya aku yang marah karena merasa diabaikan, bahkan diduakan. Namun, mengapa Mas Rey justru menuntut aku melakukan hal yang sama. Dia balik memintaku mengenali hati, untuk mengetahui siapa yang sebenarnya aku cintai. Padahal tanpa mengenali lagi pun aku sudah tahu nama siapa yang terukir di dalam hatiku. Merasa penasaran dengan maksud pertanyaannya kemarin, aku berinisiatif untuk menemui Mas Rey di kantornya pada waktu istirahat siang.

"Rajin sekali datang ke kantor calon suami," sindir Alivia—si resepsionis—bahkan sebelum aku menyampaikan tujuanku datang ke kantornya.

"Ah, kita sudah sering bertemu tapi belum pernah berkenalan secara resmi." Aku mengabaikan sindirannya dan mengulurkan tangan. "Nilam," aku memperkenalkan diriku.

Alivia melirik tanganku dengan sebelah alis terangkat. Perempuan itu berdeham sekali lantas mengabaikan uluran tanganku dengan sok merapikan meja resepsionisnya. "Bisa membaca nama saya pada name tag, kan?"

Aku menarik tanganku kembali sambil menelan segala umpatan yang bisa saja ku layangkan pada Alivia. Sungguh, dia tidak sopan sekali. Bagaimana kantor ini masih mempekerjakannya? "Maaf, saya sedikit rabun untuk membaca," kataku sambil tersenyum.

"Makanya, pakai kacamata," balas Alivia. Oh, ya ampun! Aku frustasi jika harus menghadapi Alivia setiap berkunjung ke tempat kerja Mas Rey.

"Ya sudah, panggilkan Mas Rey dan bilang saya menunggunya di lobi," pintaku pada Alivia.

"Kamu pikir saya sekretarisnya? Kamu bisa meneleponnya sendiri," Alivia menolak.

Aku memejamkan mata sambil menarik-embuskan napas beberapa kali. Berharap emosiku mereda sejalan keluar masuknya udara ke paru-paruku. Aku bisa saja melakukannya sendiri—menelepon Mas Rey dan memintanya menemuiku di lobi, tetapi aku dengan bodoh meninggalkan ponsel di rumah pagi tadi. "Saya tidak membawa handphone," aku memberitahu Alivia. "Jadi, bisa minta tolong panggilkan Mas Rey?"

Alivia melirikku lantas menatap kuku-kukunya yang dicat merah terang. "Dia meeting di luar," kata Alivia. Aku menyipitkan mata, tidak mempercayainya. Karena seingatku, terakhir kali Alivia berbohong. "Kalau tidak percaya, pakai telepon ini dan tanyakan sendiri di mana keberadaannya," Alivia menyodorkan telepon kantor karena merasa bahwa aku tidak mempercayai ucapannya.

Aku masih belum mau menyentuh pesawat telepon yang disodorkan Alivia padaku. Membuat Alivia mendengus dan berakhir mengangkat gagang telepon untuk menghubungi seseorang. "Pak Dito, ada calon istri Pak Reyza di lobi," kata Alivia. Ternyata dia menghubungi Kak Dito.

"Ini," Alivia menyodorkan gagang telepon. "Mungkin kamu akan lebih mempercayai perkataan Pak Dito," lanjutnya.

Ragu-ragu, aku menerima gagang telepon dari tangan Alivia. "Nilam?" Suara berat Kak Dito terdengar. "Mau ketemu, Rey? Dia lagi meeting di luar sama bos dan timnya."

Aku menghela napas panjang. Melirik Alivia yang tersenyum puas karena sudah merasa menang. "Oh, gitu."

"Kalau butuh ketemu, kamu hubungi aja lewat handphone-nya. Atau mau aku bantu menghubunginya?" tawar Kak Dito.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang