"Karena kamu, Nilam. Seseorang yang Mas sayang. Seseorang yang Mas patut perjuangkan. Karena kamu, Mas berani melakukan semua ini."
"Jadi, bersediakah kamu menjadi teman hidupku, Sekar Nilam Kusumawati?"
"Bersedia."
"Yes!"
"Congratulation buat Nilam yang akhirnya dilamar! Oke, karena Nilam sekarang lagi sibuk peluk-pelukan sama calon suami, Farah yang bakal mengantikannya menemani kalian di malam minggu ini. Dan biar suasana lebih baper lagi—"
"Sebulan lo dengerin itu, nggak bosan?" sindiran Farah membuatku segera menutup laptop tanpa mematikannya. Aku meringis menatapnya yang menempatkan diri di sebelahku sembari berdecak. Merasa malu karena seperti yang Farah katakan, aku selalu memutar ulang rekaman pelamaranku sejak sebulan yang lalu.
"Udah sih, Far. Biarin sih temen seneng bentar aja," protesku sembari mencebikkan bibir.
"Habis gue kesel banget sama aura lo yang selalu berbunga-bunga menunggu tanggal pernikahan yang masih lama. Padahal gue, yang sebulan lagi nikah aja malah pusing mempersiapkan ini itu," Farah mengungkapkan betapa frustasi dirinya mempersiapkan pernikahannya dengan Bagas.
Padahal dibandingkan Mas Rey, Bagas jauh lebih aktif membantu Farah mempersiapkan pernikahan mereka. Ini bukan berarti membandingkan Mas Rey dengan Bagas. Aku hanya sedikit menyayangkan sikap Farah yang justru banyak mengeluh meski diberi banyak kemudahan. Termasuk mendapat calon suami yang sangat pengertian, meski ekspresinya sedatar tripleks.
"Oh iya, tadi gimana katering rekomendasi gue?" tanya Farah mengalihkan topik pembicaraan.
"Hmm ... lumayan sih. Tapi, gue harus minta pertimbangan Mas Rey dulu," jawabku membuat kening Farah mengerut.
"Lho, Rey nggak ikut ngecek kateringnya?" tanya Farah lagi.
Aku menggeleng sembari tersenyum masam. "Nggak. Dia banyak kerjaan. Tapi tadi gue ditemani Elis kok," jawabku tidak lupa menyertakan nama Elis selaku calon adik iparku.
"Ckks, padahal yang sedatar Bagas aja rela menemani gue ke mana pun lho. Masa yang seromantis Rey, nggak sih?" cibirnya.
"Dia sibuk, Far," aku mencoba membela Mas Rey. Meski dalam hati aku merasa sedikit kecewa. Namun, mengingat apa yang dikerjakan Mas Rey untuk masa depan kami, aku berusaha menekan semua perasaan itu. Aku tidak boleh menjadi egois hanya untuk hal sekecil ini.
"Yah, asal dia nggak mangkir dari jadwal fitting baju pengantin aja," celetuk Farah.
"Far ...."
Farah menutup mulutnya segera. Mengulum bibir, dia menunjukkan ekspresi bersalah padaku. "Sorry," ucapnya.
Aku hanya menganggukkan kepala, maklum dengan Farah yang belakangan memang sensitif dan bicara sekehendak hatinya. Efek pusing mengurusi pernikahannya, mungkin. Beberapa saat kemudian, ponsel yang ku letakkan di atas meja bergetar. Menampilkan pemberitahuan chat yang dikirimkan Mas Rey.
Calon Imamku : Aku di lobi
Aku terenyum membaca nama kontaknya. Padahal kontak Mas Rey sudah diganti olehnya sejak kami resmi bertunangan dua hari yang lalu. Tetap saja aku selalu terkikik geli membaca nama kontaknya.
"Gue duluan, udah dijemput calon suami," pamitku pada Farah setelah mematikan laptop dalam keadaan mati. Farah meloloskan dengusan irinya. Karena si perhatian Bagas tidak bisa menjemputnya hari ini.
Aku menemukan Mas Rey setibanya di lobi. Calon suamiku itu menyunggingkan senyum, meski wajahnya tampak lelah. Ia terlihat sangat berantakan. Belum lagi kemeja kelabunya yang tampak kusut karena dikenakan seharian. Meski begitu, lelakiku ini tetap terlihat mempesona dengan dirinya yang seperti itu. Buktinya meski semua perempuan yang ada di gedung ini mengetahui bahwa Mas Rey adalah calon suamiku, mereka tetap tidak bisa menjaga pandangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Pretend
Fiction généraleUntuk kedua kalinya Reyza Ardhian Pratama mengakui Sekar Nilam Kusumawati sebagai kekasihnya. Berbeda dengan sebelumnya, Rey melakukan hal ini bukan hanya untuk menyelamatkan Nilam, melainkan juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Rey pikir hubu...