[20] Rey

18.6K 2.8K 461
                                    

Takdir manusia itu bisa diibaratkan seperti labirin. Banyak kelokan, menuntun kita menuju jalan keluar, atau bahkan ada yang menjerumuskan kita pada jalan buntu. Nggak jarang, kita harus melalui jalan yang sama saat berupaya mencari jalan keluar. Seperti yang gue alami sekarang ini. Mau berusaha menghindar dengan cara apa pun juga, gue tetap dipertemukan lagi dengan Renata Kinandita. Cewek pertama yang gue sayang selain Mama dan Elis, pacar pertama, serta mantan satu-satunya.

Kalau bisa memilih, gue pasti nggak bakal mau dipertemukan dengan Rena lagi. Bukan berarti gue belum bisa move on dari dia. Bisa gue pastikan, di setiap jantung ini berdetak hanya nama Nilam yang terucap di sana. Hanya saja, gue nggak memungkiri bahwa Rena masih cukup mempengaruhi diri gue. Karena setiap menatapnya gue selalu merasakan getaran sekaligus sakit yang teramat dalam mengingat pengkhianatannya bersama Ardhan.

Katakan gue melow, lebay, atau apalah itu. Tapi, nyatanya perasaan ini hadir tanpa bisa gue cegah.

Karena itulah, ketika berhadapan dengan Nilam pertama kali setelah bertemu dengan Rena, gue langsung mendekapnya. Bukan karena merasa bersalah pada Nilam, melainkan gue sedang menguatkan hati dan iman. Mengingatkan diri gue sendiri bahwa Nilam adalah satu-satunya untuk gue sekarang. Nggak ada yang lain.

Tapi bukannya merasa lega atau kuat hati, rasa bersalah lah yang justru hadir saat memeluk Nilam. Terlebih saat Nilam mengkhawatirkan gue. Mau banget gue bilang ke Nilam, kalau dia harus mempercayai gue, kalau dia harus tahu bahwa Rena udah nggak berarti apa-apa lagi di kehidupan gue. Sayangnya, semua kalimat yang sudah tersusun rapi dalam pikiran itu terpaksa gue telan bulat-bulat. Karena ternyata gue nggak cukup berani mengatakan itu semua pada Nilam.

Calon istriku : Lagi sibuk apa?

Gue hanya mampu menghela napas pasrah membaca pesan yang dikirimkan Nilam beberapa menit yang lalu. Lagi-lagi gue nggak berani menjawab pesannya. Bukan hanya menjawab, mengirim pesan seperti biasa aja gue nggak sanggup. Entahlah, gue merasa sedang brengsek, sebrengsek-brengseknya. Hingga tanpa sadar gue menghukum diri sendiri untuk menjauhi Nilam sampai kondisi hati gue terkendali dan memiliki keberanian yang cukup untuk berterusterang pada Nilam. Meski gue yakin, bahwa yang gue lakukan saat ini bisa aja menyakiti hati Nilam.

Calon istriku : Aku kangen :(

Kangen kamu juga, batin gue membalas. Seketika gue membenturkan kepala ke meja kerja. Astaga, Rey. Kalau Papa tahu apa yang lo lakukan sekarang, mungkin beliau nggak segan buat menyembelih lo, Rey.

"Ngapain lo, Rey?" Pertanyaan Dito menghentikan kegiatan gue membenturkan kepala beberapa kali.

"Ini semua karena lo," tuding gue. Yah, semua karena Dito. Gue bisa aja lepas dari tanggung jawab proyek dan nggak perlu berurusan dengan Rena lagi, kalau aja Dito bersedia menggantikan gue menerima proyek ini. Sayangnya, dia nggak mau melakukannya dengan alasan kalau gue perlu banyak tambahan bonus untuk persiapan pernikahan. Padahal gue tahu banget kalau sebenarnya dia cuma males.

"Apaan, sih? Lo masih ngambek karena gue nggak mau ngegantiin lo?" tanya Dito. "Haelah, Rey. Apaan, dah! Lagian ngapain sih lo ngotot nggak mau ngerjain proyeknya?"

Gue nggak menjawab. Kalau Dito tahu bahwa alasannya karena gue males ketemu mantan, dia pasti bakal menertawakan gue habis-habisan. "Nggak apa-apa," jawab gue.

"Nggak mungkin. Biasanya juga kalau menang tender gede lho bakal pamer ke gue," kata Dito menatap gue curiga.

"Nggak ada apa-apa."

"Rey, please lah. Jangan pakai kode-kodean ala cewek, yang setiap ditanya kenapa selalu jawab nggak apa-apa," Dito mengeluh sambil memutar matanya.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang