[2] Rey

32.8K 3.6K 365
                                    

Dering hp mengganggu kualitas tidur gue di akhir pekan. Dengan mata yang masih terpejam, tangan gue terulur sampai nakas. Mengambil benda segi empat itu lantas mematikannya tanpa melihat siapa yang menelepon. Kalau berdasarkan pengalaman hanya ada dua orang yang bisa mengganggu kegiatan tidur gue di Minggu pagi.

Pertama adalah Clara. Sekretaris Bian yang beberapa waktu belakangan memang gue manfaatin sebagai gandengan ketika kondangan. Sialnya, cewek itu menuntut lebih dari sekadar gandengan kondangan. Membuat gue terganggu akibat memenuhi semua keinganannya yang cuma modus belaka.

Yang kedua, tentu saja keponakan tiri gue. Anaknya Bian, Rekananda Bagaskara. Yang entah kenapa lebih betah nempel ke gue ketimbang bapak kandungnya sendiri. Walaupun sekarang Reka udah punya teman main, berbentuk adek bayi bernama Elbiana, tetap aja si tengil satu itu belum puas kalau belum mengganggu hidup gue.

Baru berniat melanjutkan mimpi yang sempat tertunda, gue merasakan kasur berdecit pelan. Belum juga gue mempersiapkan diri, selimut keburu disingkap paksa. Bukan cuma itu, tiba-tiba aja sesuatu bermassa lebih dari 20 kg membebani perut. Membuat gue kesulitan melakukan pernapasan perut karena ditahan oleh bobot yang tidak ringan sama sekali.

"Pakdhe, bangun!"

Suara Reka memekik, benar-benar mengganggu pendengaran. Gue mencoba menutup telinga dengan sebelah tangan. Sedang tangan yang lain gue manfaatkan untuk mengusir Reka yang menduduki perut gue. Bisa dipastikan, kalau yang menelepon tadi adalah Clara. Karena kalau Reka yang menelepon, nggak bakal mungkin bocah ini menduduki perut gue sekarang.

"Reka, turun! Berat! Gue susah napas, bocah!"

Reka tidak peduli. Bocah ini malah semakin menjadi. Melakukan gerakan meloncat-loncat yang benar-benar mengganggu pernapasan. "Bangun, Pakdhe. Katanya mau ngajarin Reka main badminton."

"Sama Papa aja sana!"

"Reka maunya sama Pakdhe!"

"Sama Eyang Kakung deh!"

"Dibilang Reka maunya sama Pakdhe!"

Reka dan kemauannya yang harus dituruti.

Menyerah menghadapi kekeraskepalaan bocah ini, gue akhirnya memenuhi permintaannya. Gue bangun dan meminta bocah yang duduk di bangku sekolah dasar itu menyingkir dari perut gue.

"Tumben bangun di bawah jam 12," komentar Mama saat gue tiba di meja makan. Mencomot satu roti bakar yang dibuat Mama serta meminum segelas susu cokelat hangat.

"Cucu kesayangan Mama tuh. Ngegangguin Rey tidur," dagu gue menunjuk Reka yang tengah mengganggu kegiatan membaca koran Papa. Tidak seperti gue yang bakal marah-marah nggak jelas atas gangguannya, Papa justru menyambut Reka dengan suka cita. Beliau bahkan menceritakan isi artikel yang tercantum dalam surat kabar. Konyolnya, Reka mendengarkan dengan antusias. Seperti dia mengerti aja gimana kondisi politik di Indonesia saat ini.

"Elis sama Bian mana?" tanya gue ke Mama begitu menyadari bahwa adik dan adik ipar gue beserta bayi mereka yang baru lahir tidak terlihat di rumah ini.

"Nggak ikut ke sini. Bian tadi juga cuma sebentar nganter Reka, soalnya dia bilang udah janjian mau main badminton sama kamu," jawab Mama.

"Ckk, lama-lama kok Rey ngerasa dikerjain sama Bian. Sebenernya bapaknya Reka siapa sih, Ma? Bian atau Rey?"

"Nggak usah hiperbolik, Rey," ujar Mama sembari memutar bola matanya. "Lagian bagus kalau Reka deket sama kamu. Sekalian latihan jadi ayah," lanjutnya.

Gue memilih diam, menghentikan perdebatan dengan Mama. Karena kalau dilanjutkan, yang ada pembicaraan akan merembet ke mana-mana dan berakhir dengan keinginan Mama untuk mendapatkan menantu dari gue. Beliau sih nggak pernah bilang secara langsung seperti, "Rey, sana nikah." Atau bertanya, "Rey, kapan kamu nikah?" Mama lebih suka mengungkapkannya dengan tersirat seperti yang biasa dia lakukan akhir-akhir ini.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang