Aku rasa keberuntungan berpihak padaku belakangan ini. Semenjak acara pernikahan Andhika, Mas Rey kerap menghubungiku. Seperti jadwal minum obat, Mas Rey menghubungiku minimal 3 kali sehari. Pagi, siang, malam. Ia hanya mengirimkan pesan sederhana, seperti mengingatkanku makan dan menanyakan ada yang menggangguku lagi atau tidak. Aku tahu dia hanya mengkhawatirkanku seperti dirinya mengkhawatirkan Elis, tetapi tetap saja semua bentuk perhatiannya sangat berarti untukku.
Yang paling membuatku senang adalah kenyataan bahwa dia memperbolehkanku mengakuinya sebagai pacar untuk sekadar menjaga diri. Oh, bisakah aku berharap lebih dari ini?
Reyza Ardhian : lagi apa?
Reyza Ardhian : udah makan siang belum?Aku tersenyum membaca pesan yang baru saja Mas Rey kirimkan. Baru saja aku melirik ponsel, menantikan pesan darinya. Tidak segera membalas pesannya, aku malah menopang dagu, menatap ponsel yang kini memperlihatkan room chat antara diriku dan Mas Rey.
Aku menyukai permainan ini. Mas Rey mengirimkan pesan, aku membaca pesan, aku tidak membalas pesannya, dan Mas Rey akan ....
Reyza Ardhian is calling
Aku nyaris bersorak jika tidak ingat bahwa kini diriku tengah berada di kantor, dan sejak tadi beberapa orang mengamati kelakuanku yang mungkin dianggap aneh. Dengan senyum melebar, aku menerima panggilan Mas Rey. Jantungku berdebar kencang, berkebalikan dengan suaraku yang terdengar santai menyapa telinganya. "Ya, Mas?"
"Kamu di mana?"
Aku mengigit bibir tanpa sadar mendengar suaranya. Mas Rey dan sisi posesifnya yang menggemaskan. Beruntungnya Elis merasakannya selama ini. "Di kantor. Kenapa?" jawabku tenang sekaligus balik bertanya.
Mas Rey mendengus, disambung suara kekehan lain dari seberang sana. Suara lelaki yang jelas bukan milik Mas Rey. Kekehannya terdengar seperti bentuk ejekan untuk Mas Rey yang sekarang mungkin sedang diselimuti kekhawatiran.
"Kenapa nggak balas pesanku, Nilam. Mas tahu kamu udah baca. Yakin kamu di kantor? Bukan ketemu sama kriminal itu lagi?" serentetan pertanyaan Mas Rey ajukan. Belum jadi pacar yang sesungguhnya saja sudah seperti ini, kan aku semakin berharap lebih.
"Maaf, Mas. Tadi lagi baca email masuk dari pendengar. Belum sempat balas. Ini bentar lagi juga makan siang. Lagi nungguin abang Go-Food ngirim makanannya," jawabku. Mataku menangkap sosok Farah yang berjalan mendekat sembari membawa kantong plastik yang ku duga baru di dapatkannya dari driver ojek online yang kami pesan tadi.
"Oh ... kirain belum makan siang," balas Mas Rey. Aku tersenyum mendengar nada kecewa dalam suaranya.
"Kenapa? Mas mau ngajak aku makan siang?"
"Bu-bukan ...."
Aku terkekeh mendengar reaksinya, membayangkan bagaimana ekspresi tersipunya saat ini. Farah yang baru saja menempati kursi di sebelahku mengernyit bingung. Matanya menyipit, seolah bertanya dengan siapa aku bertelepon. Dan begitu aku menggerakkan bibir, perempuan itu mengangguk paham. Bahkan Farah sempat menyikutku pelan sembari melemparkan seringaian menggoda.
Farah, sialan! Seharusnya aku tidak bercerita mengenai Mas Rey dan betapa berjasanya dia menyelamatkanku dari Daru-si penguntit tampan yang sekarang menyerah mengikutiku.
"Mas cuma khawatir. Takutnya kamu sama si kriminal itu lagi," kata Mas Rey mengkonfirmasi.
"Dia bukan kriminal, Mas. Namanya Daru."
"Penguntit tetap penguntit, Nilam. Dan yang dia lakukan sudah termasuk betuk tindak kriminal," balasnya tidak mau kalah.
"Oke," aku memilih mengalah dan menghentikan pembahasan mengenai Daru. "Mas Rey sendiri udah makan?"
![](https://img.wattpad.com/cover/101933560-288-k697835.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Pretend
General FictionUntuk kedua kalinya Reyza Ardhian Pratama mengakui Sekar Nilam Kusumawati sebagai kekasihnya. Berbeda dengan sebelumnya, Rey melakukan hal ini bukan hanya untuk menyelamatkan Nilam, melainkan juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Rey pikir hubu...