[28] Rey

23.7K 3.1K 186
                                    

Ini adalah karya keduaku yang ditinggalkan perlahan, karena berbagai alasan. Aku sangat menghargai apa pun keputusan pembaca, baik yang lanjut mengikuti atau memilih berhenti.

Buat yang memilih lanjut, makasih dan maaf kalau mulai lama lagi nih updatenya karena kesibukanku beberapa waktu belakangan ini. Dan yang nggak lanjut, makasih juga karena udah pernah menyukai karya ini.

—Fee—

"Lo di mana, Lam?" Elis melirik gue yang sekarang membalas pandangannya. "Oh ... udah di rumah."

Gue akhirnya bisa menghela napas lega, setelah 2 jam ini diliputi rasa khawatir mengenai keberadaan Nilam. Bukannya gue nggak percaya kalau Nilam bisa menjaga dirinya, tapi yang mengantarkannya pulang tadi adalah Daru. Penguntit—yang kata Nilam sih udah tobat.

"Hah?"

Elis kembali menarik perhatian gue dengan lirikannya. Dari bagaimana Elis menatap, sepertinya dia ketahuan sama Nilam kalau gue lah yang memaksa Elis menanyakan keberadaan Nilam saat ini.

Elis terlihat mengangguk pelan kemudian. Sebelum matanya melotot tajam ke arah gue. "Oke, Lam. Daaah ...."

"Apa? Nilam bilang apa?" tanya gue begitu Elis mematikan sambungan teleponnya dengan Nilam.

"Nilam cuma bilang, Mas Rey nggak usah khawatir-khawatir lagi sama dia," jawab Elis. Pelototan tajamnya sama sekali belum lenyap. Malah makin mengintimidasi gue sekarang ini. Alamat disidang Elis ini sih.

"Mas selingkuh, ya?"

Mulut gue menganga. Nggak menyangka aja kalau itu yang akan Elis pertama kali tanyakan. "Ngomong apa kamu, Lis?"

"Pasti deh, Mas Rey selingkuh. Sama Kak Rena, ya?" tuduh Elis begitu aja. Baru juga gue mau membantah, Elis udah mulai ngomel lagi. "Pantes, ya? Mas nggak berani telepon Nilam. Tadi juga Nilam sampai pesan supaya Mas nggak khawatir sama dia lagi, juga nggak ganggu dia lagi."

Elis dan asumsinya yang menyebalkan. "Jahat banget sih fitnah Mas-mu ini, Lis. Emang Mas ada tampang tukang selingkuh gitu?"

Mata Elis menyipit, memperhatikan gue lebih jelas. "Nggak, sih. Walau tampang Mas itu nyebelin."

"Tetep aja, yah ngehina?"

Elis terkikik sebentar, lantas kembali ke mode serius. "Udah, sih. Jawab pertanyaan Elis tadi. Kalau bukan masalah selingkuh, pasti deh ada masalah besar di antara kalian," tebak Elis nyaris benar.

"Bukan urusan kamu, Lis."

Elis mendengus. "Urusan Elis, dong. Ini kan menyangkut nasib Nilam selaku sahabat dan calon kakak ipar Elis."

"Mas berterima kasih karena kamu peduli dengan hubungan kami, tapi biarlah Mas dan Nilam yang menyelesaikannya. Kamu nggak perlu repot ikut campur," kata gue menolak untuk memberitahu duduk permasalahannya.

Elis masih kelihatan nggak terima dengan keputusan gue. Tapi, pada dasarnya adik gue ini cukup pengertian, jadi dia memilih mengalah. "Oke. Elis nggak bakal ikut campur."

"Makasih atas pengertiannya adik Mas yang cantik," kata gue mengusap kepala Elis. Satu kegiatan yang hampir nggak pernah gue lakukan lagi semenjak Elis menikah.

"Selesaikan dengan cepat, ya Mas. Ingat, tiga bulan lagi kalian menikah," Elis mengingatkan.

Gue cuma bisa tersenyum tanpa bisa menjanjikan apa pun. Yah, semoga aja kesalahpahaman ini segera berakhir dan pernikahan akan tetap berlangsung sesuai rencana awal. Tinggal usaha gue aja sekarang, gimana caranya meyakinkan Nilam kalau perasaan gue memang nyata buat dia.

(Un)PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang