Sang dokter berlari mengkucir rambut panjang brunettenya. Ia berlari-lari layaknya orang sakit jiwa hanya untuk menyelamatkan sang pasien yang sekarat.
Pasien bernama Lalisa Manoban.
Lampu penerang dinyalakan, para perawat berkumpul memakai masker dengan segala perabotannya.
Sementara Jungkook tidak hanya diam menunggu seperti pria di kebanyakan film. Tanpa ragu ia segera mencari tahu siapa yang mencelakai Lisa—karena orang itu harus bertanggung jawab atas tindakannya.
Entah bertanggung jawab atas keadaan Lisa kini, atau mungkin bertanggung jawab atas Jungkook yang dilanda kesedihan karena mata Lisa yang belum terbuka sampai kini.
Jangan lupa fakta bahwa lalu lintas Seoul seharusnya sudah tidak diragukan lagi. Ada kemungkinan besar insiden itu disengajakan.
Dia segera pergi ke kantor polisi dan meminta kejadian ulang dari cctv di jalan itu.
"Stop." Ucapnya menekan tombol pause persis saat melihat mobil hitam itu menabrak Lisa. Dia mengambil alih—memperbesar gambar, menelisik bagian plat nomornya.
Raganya membeku ketika mendapati angka-angka yang sangat familiar. Sangat. Dia menghela nafas kasar.
Tangannya menepuk bahu si petugas. "Kerja bagus. Terima kasih." Ia meninggalkan beberapa lembar uang pada sang petugas. Lantas meninggalkan tempat itu dan segera mendatangi kediaman ayahnya.
Selama ini Jungkook tidak tinggal bersama atahnya, ia tumbuh bersama dengan keluarga Wonwoo. Adik perempuannya ikut bersamanya. Jungkook lebih memilih tinggal bersama sepupunya daripada dengan sang ayah.
Ada beberapa kisah mengenai dirinya dan sang ayah. Tidak disangka kan, orang seperti Jungkook memiliki masalah seperti di kebanyakan film-film.
Ia menaiki mobil mewahnya yang sudah lama ia simpan di garasi rumah Wonwoo, dan menuju luxury house sang ayah di Apgujeong.
Sesampai disana, gerbang rumah terbuka otomatis tatkala alat pelacak identitas. Cahaya hijau kecil yang sudah dipastikan takkan merusak mata memindai bola matanya.
Ia putranya sang tuan rumah, tentu saja identitasnya sangat dikenal. Terutama ia sangat dihormati di istana itu. Berbeda dengan keluarga Wonwoo yang merawatnya sederhana layaknya keluarga pada umumnya.
Kehadiran Jungkook disambut begitu hangat, dengan beberapa petugas berbaju hitam—menundukkan pandangannya.
Jungkook keluar dari mobilnya, lantas melempar kunci mobilnya asal pada salah satu petugas. Tindakan itu sering dilakukan oleh sang ayah, wajar sang penerus mempraktikannya.
Di pintu utama pun disambut dengan deretan para pelayan yang semuanya menundukkan pandangannya. Rasanya sedikit asing karena sudah lama ia tidak mengunjungi rumah yang kini ia pijaki. Mungkin sekitar 7 bulan yang lalu, bersama sang adik. Bersama Eunha pula. Gadis itu merengek ikut.
Seorang pria berperawakan keras, tinggi melebihi seratus delapan puluh sentimeter, wajah mulus, rambut hitam mengkilat. Matanya tajam, dan dadanya bidang.
Ayah Jungkook memang terlihat sangat pria, begitu manly, Jungkook juga mirip dengannya.
Dengan begitu, ibunya pasti sangat cantik. Ya, Jungkook belum pernah melihat ibunya langsung. Hanya dari foto, karena itu hidupnya suram. Hidup tanpa kasih seorang ibu.
"Selamat datang, Nak." Pria yang dulu ia panggil Ayah kini hanya ia tatap dengan bengisnya. Dia tidak mengatakan kalau dia benci, tapi dia benci karena tidak bisa membuat kebencian itu lenyap.
"Apa yang dilakukan anak buahmu?" tanya Jungkook tanpa basa-basi.
Pria itu menaikkan salah satu alisnya, bingung dengan ucapan putranya. "Anak buahku? Memangnya apa yang mereka lakukan?" tanyanya balik.
"Mereka menabrak seorang gadis. Aku kenal beberapa plat nomor mobil anak buahmu. Dan aku menyadari kalau mobil itu adalah milikmu. Katakan padaku! Apa tujuanmu!"
Pria itu menyunggingkan senyum. "Apapun yang mereka lakukan, bukan lagi urusanku. Tapi apa yang kuperintahkan, adalah urusan mereka."
Jungkook menatapnya tajam, tanpa berkedip sedikitpun. Sampai-sampai matanya perih dan berair—bukan karena ingin menangis. Tapi karena terlalu lama menatap tanpa berkedip.
Dia keluar dari rumah itu dengan perasaan resah sekaligus kesal. Tanpa salam perpisahan, atau senyuman sedikitpun.
Dia baru saja akan menaiki mobilnya, lalu dia menatap kembali rumah yang menjadi tempat berlindungnya dulu.
Dia berlari masuk kembali kerumah itu. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang ayahnya sembunyikan di rumah itu. Dan seperti awalnya pada pelayan itu berada didepan saat memasuki rumahnya.
Dia menaiki tangga, dan berjalan-jalan mencari sesuatu entah apa. Salah satu pintu kamar tidur sedikit terbuka, menampilkan cahaya putih dari dalamnya.
Jungkook mengintipnya. Dan dia memasang kupingnya—mendengar percakapan dengan ayahnya entah dengan siapa. Dirinya terkejut saat ayahnya sedang menatap sendu seorang wanita yang terbaring lemah dengan gaun putih—seperti putri tidur yang menunggu ciuman cinta pangerannya.
Wajah wanita itu tenang bagaikan lautan, dia tertidur dengan damainya. Tangannya bertumpu pada tangannya yang lain. Benar bukan, sangat tenang sekaligus sangat anggun.
Apalagi kamar itu memiliki jendela yang lebar agar cahaya masuk kedalamnya—membuat wajah pucat itu lebih tersinari. Lalu dinding dinding berwarna putih polos, menampilkan suasana ayem.
Dengan suara berat dan serak, ayah Jungkook membuka suaranya. "Kau tak pernah sekalipun keluar dari benakku, Nam. Tunggu sebentar lagi, sayang. Kita akan bersama seperti dulu, seperti yang kau inginkan dulu."
Dalam benaknya, Jungkook bertanya-tanya. Apakah pria itu sudah gila?
Padahal sudah jelas wanita itu tertidur, dan dia mengajaknya bicara.
"Kau akan menjadi milikku. Bahkan putrimu tak bisa menghalangi lagi, Nam. Tidak akan. Sejuta mimpi yang pernah kita ukir bersama, aku akan mewujudkannya. For you. My queen."
Jungkook entah bermimpi apa semalam, tapi melihat ketenangan wajah wanita itu mengingatkannya akan Lisa yang mungkin sudah selesai operasi.
Tunggu. Selesai?
Berharap sih seperti itu.
© chainsther
KAMU SEDANG MEMBACA
Fugitive
Fanfiction[ WRITTEN IN INDONESIA ] Lisa hanya ingin kehidupannya kembali sederhana. Namun ia terlanjur masuk ke dunia Jeon Jungkook. Tentang Jungkook, dia bukan orang biasa dan dia tidak lemah. Masalah semakin rumit dengan Lisa yang tidak bisa berhenti menci...