13

5.7K 538 5
                                    

Lisa berniat untuk mengecat rambutnya menjadi pirang. Sepertinya akan terlihat bagus. "Mingyu hitam, apa menurutmu aku cocok dengan rambut pirang?"

Mingyu hanya mengabaikannya.

"Itu terlihat bagus untukmu," tutur Jungkook yang masih ada di kamar itu. Bersama seorang gadis—Jung Eunha. Lisa mengabaikannya. "Hitam, apa menurutmu terlihat bagus?" tanyanya sekali lagi.

"Kalau kau memanggilku hitam, aku takkan bicara lagi." Mingyu benar-benar muak dipanggil hitam. Dia mengaku kulitnya tidak seputih orang-orang disekitarnya. Setidaknya dia bukan arang.

"Baiklah, baiklah. Kau ingin kupanggil apa? Chagi, yeobo, tampan, atau apa?" tanyanya membuat aura ruang itu seketika panas.

Kalau saja tidak ada dua insan—Jungkook dan Eunha—sudah pasti Lisa akan membalas perkataan Mingyu seenaknya. Seperti, "kalau tak mau bicara pun tak apa. Biarkan mulutmu bisu selamanya! Hahaha! Coba bayangkan, hitam dan bisu. Berarti kau batu! HAHAHAHA!"

Mingyu tersenyum. "Panggil aku Mr Tampan. Kau mau?" tanya Mingyu bercanda, tidak yakin kalau Lisa akan bersedia memanggilnya dengan sebutan itu.

"Mingyu saja. Bisa kan?" sela laki-laki yang akan meledak jika seseorang terus-terusan memanasi hatinya.

"Baiklah. Damai, Jeon." Mingyu menunjukkan tanda peace padanya. Laki-laki bermarga Kim itu melanjutkan perkataannya. "Aku tau kau mencintai adikmu ini, Jeon. Maafkan aku."

"Mr Tampan. Kenapa terdengar bagus?" tanya Lisa menimbang-nimbang—masih membahasnya.

"Kau masih kecil, adikku. Jangan menyebut seseorang dengan sebutan seperti itu. Terdengar menggoda." Jungkook membantahnya.

"Aku sudah besar, kakak. Aku bahkan mengerti hubungan kakak adik. Kakak adik tidak diperbolehkan bersatu. Mereka berkeluarga. Bukankah begitu?"

Jungkook menyadari kalau gadis itu menyindir dirinya. Lisa, wah, gadis itu benar-benar pandai menyindir.

***

Malam hari klub malam penuh dengan para insan yang sedang membangun tumpukan dosa. Banyak yang berhubungan badan di sudut dan sudut lainnya.

Bartendernya pun sibuk menyambut para peminum yang candu akan alkohol-alkohol. Ada pula pria sedang meneguk segelas bir, bersama dayang-dayang—kekurangan bahan pakaian—disisinya.

Perempuan dengan gaun hitam super ketat selutut, dan high heels tinggi, serta rambut hitam lurusnya yang diikat tinggi dan kencang menjadi kucir buntut kuda. Dia membawa pistol di balik gaun ketatnya.

"Apa rencanamu kali ini?"

Pria yang sedang bercumbu itu menghentikan aktivitasnya, dan menatap gadis yang tiba-tiba menyapanya. "Chewy!" serunya menyapa dengan nada senang. "Akhirnya kita bertemu."

"Jangan buang waktuku."

Pria itu tertawa dengan tawa menggelegar ke seluruh sudut. Dia beranjak dari duduknya. "Nona Chou, bagaimana jika kita berdiskusi di tempat lain? Aku rasa, dinding-dinding disini dapat menguping."

Perempuan itu mengangguk mengerti. Dia pun mengikuti langkah pria itu menuju sebuah ruangan yang dijaga oleh dua penjaga berkumis tebal.

Lalu untuk membuka pintunya, harus memasuki kode-kode terlebih dulu. Pria itu mengetik angka-angka dengan cepat. Dan pintu terbuka dengan bunyi nit.

"Come in."

Mereka pun melangkahkan kakinya masuk. "Jadi Nona Chou. Aku memanggilmu disini karena suatu alasan."

"Apa itu?"

"Bertahun-tahun lamanya, aku tinggal dengan adikku satu-satunya. Tapi, seseorang membunuhnya. Aku masih bisa mengingat bagaimana adikku yang sudah tak bernyawa, menatapku karena matanya terbuka, memelotot.

"Saat diselidiki, dia terbunuh karena racun di makanannya. Para polisi tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada bukti yang menyatakan kalau seseorang memasukkan racun kedalam makanannya. Tidak ada rekaman ataupun bekas sidik jari yang bisa dilacak.

"Jadi mereka semua berpikir bahwa racun itu datang dari tubuh adikku sendiri. Aku tidak percaya begitu saja. Aku memerintahkan anak buahku untuk menyelidikinya sendiri. Dan fakta yang paling kubenci adalah seseorang yang membunuhnya adalah sainganku saat itu.

"Aku berusaha untuk membunuhnya, tapi selalu saja gagal. Aku tak tau harus bagaimana, setelah bertahun-tahun aku berpikir keras, aku dengar berita mengenai dirimu dan kawan-kawanmu."

Perempuan itu tertawa keras—menghentikan penjelasan pria di hadapannya. "Jadi kau ingin memerasku? Kau menyuruhku melakukan pekerjaan kotor, dan memberiku upah? Apa maksudmu begitu?" tebaknya.

"Exactly."

Perempuan itu memimbang-nimbang keputusannya. "Aku dapat berapa untuk ini?" tanyanya.

"20% dari harta keluargaku.

"Deal?"

Perempuan itu berpikir sekali lagi, hati-hati dalam mengambil keputusan. "Deal." Perempuan itu menjabat uluran tangan pria itu. "Tapi dengan caraku dan teamku," lanjutnya.

Pria itu menyunggikan senyumnya. "Sudah kuduga kau akan berkata begitu. Karena itu kupanggil kawan-kawanmu. Sekarang Nona Chou, apa rencanamu?"

Kedelapan perempuan yang berpenampilan sama seperti Chewy itu berdatangan dari pintu yang sama.

Mereka sama-sama dididik untuk bertarung. Memiliki kemampuan bertarung.

Kesembilan perempuan bersama pria itu berkumpul di meja bundar. Meja bundar yang tadinya tidak terisi apapun kini mulai memunculkan hologram luxury house seseorang. "Kita mulai dari yang paling lemah dikeluarga itu."

"Yanika Manoban, sasaran pertama."

Pria itu menahan tangan salah satu kawan Chewy yang ingin menyusun rencana. "Hati-hati. Jangan lupa siapa yang melindunginya. Dia terkenal di dunia buronan kaya sepertiku."

"Aku tau, bodoh. Karena itu kami akan bekerja sama dengan kawanan kami yang lain," ucap salah satu kawan Chewy.

"Aku tidak percaya mereka," tuturnya.

Dia tertawa kecil. "Percayalah, kau akan mempercayai mereka. Asal kau tau, salah satu dari mereka dekat dengan putra musuhmu. Kita bisa memakai kesempatan itu."

"Siapa yang kau maksud? Gadis lemah itu?" tanya salah satu gadis itu pada gadis yang mengatakan kawanan lain mereka tidak lemah.

"Hati-hati dalam ucapanmu. Kau belum tau kemampuannya setara denganmu. Tapi dia memang akan lemah saat didepan laki-laki itu."

"Karena itu jangan bunuh laki-lakinya. Gadis itu akan marah besar."

© chainsther

FugitiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang