9

7.2K 714 8
                                    

"Jika saja aku lebih cepat menangkapmu, mungkin dirimu takkan terbaring lemah disini." Jungkook bertutur dengan rasa penuh penyesalan yang sangat menyiksa nya.

"Lalice, bangunlah." Pria itu pun menyentuh pipi lembut Lisa dengan jemarinya.

Dokter bilang ia akan mulai sadar setelah tiga hari kemudian. Tapi kini ia bisa mendengar apa-apa yang terjadi di sekitarnya.

Jungkook duduk tenang, senantiasa mengawasi Lisa, menunggu sang gadis bangun dari tidurnya. Melihat Lisa tidur, ia teringat akan wanita yang berada di rumah ayahnya.

"Rasanya seperti sudah kenal satu sama lain ya? Melihatmu seperti ini. Mengingatkanku pada wanita yang kulihat di kamar ayahku. Jangan berpikiran yang tidak-tidak, wanita itu mirip denganmu."

Jungkook melanjutkan perkataannya. "Dia tidur dengan wajah yang sangat tenang, Lalice. Mungkin dia adalah pacar keseribu ayahku. Entahlah. Tapi wajahnya sangat keibuan, aku jadi bersedia jika dia menjadi ibu keduaku."

Ponsel Jungkook tiba-tiba berdering. Ia langsung mematikannya saat mengetahui siapa yang menghubunginya. Walaupun itu ayahnya, jika saja itu orang lain, mungkin laki-laki itu akan tetap mematikan panggilannya.

Ia menggenggam erat tangan Lisa.

"Kumohon, bangunlah."

Selang infus itu membuat penampilan Lisa di mata Jungkook semakin membuatnya merindukan tawa Lisa. Teringat akan ucapan dokter, bahwa Lisa mendengar apa-apa yang di sekitarnya, tapi ia tidak bisa membuka matanya ataupun menggerakkan tubuhnya.

"Kabar baik, Lalice. Ibumu ditemukan," dustanya.

"Sekarang dia sedang istirahat dirumahnya, jadi dia tidak bisa mengunjungimu." Ia berdusta.

"Dan kau tau, Bambam tadi ingin menengokmu. Tapi aku menyuruhnya pulang, karena wajahnya terlihat lelah. Sama seperti ibumu." Dia berdusta, lagi.

"Kalau kau ingin cepat bertemu dengan mereka, cepat bangun Lalice!" katanya sedikit menekankan perkataannya.

Dan—

Pintu terbuka.

Menampilkan sosok yang bahkan tidak ia inginkan keberadaannya.

"Ada apa kau kesini?" tanyanya malas. Pria itu membenarkan letak dasinya. "Menjenguk anakku tentu saja."

Jungkook berdecak sebal. "Aku sudah besar, Ayah. Tapi terima kasih telah mengingatku." Jungkook berusaha untuk tidak membuat keributan.

"Bukan kau, Jung. Aku menjenguk anakku yang lain," katanya.

"Apa maksudmu?" tanya Jungkook.

Pria itu baru saja ingin mengelus rambut Lisa, dan langsung ditepis oleh Jungkook.

"Jangan menyentuhnya," peringat laki-laki itu dengan suara serak.

Pria itu menyunggikan senyum. "Aku berhak atasnya. Beberapa hari lagi ia akan menjadi putriku. Kau dan dia, adalah saudara."

Bingung dengan perkataan ayahnya. Jungkook bertanya-tanya dalam hati.

Pria itu menepuk bahu Jungkook, lantas keluar dari ruangan.

Selang beberapa jam, Paman Lucian yang datang dengan buket bunga dan sekantong plastik berisi buah-buahan.

"Makanlah lebih dulu. Biar aku yang berganti menjaganya." Paman Lucian memerintah Jungkook agar segera mengisi lambungnya, karena laki-laki itu belum makan apapun sejak kemarin malam.

Paman Lucian teringat akan sesuatu.

"Dimana ibunya?"

"Dia menghilang."

"Menghilang bagaimana maksudmu. Ditelan bumi, hah?"

"Mungkin saja."

"Aish.. jinjja,"

Kau ingat bahwa Lisa bisa mendengar apapun walaupun dia tidak membuka matanya? Ya, dia tau kalau Jungkook bohong. Tentang bahwa ibunya telah kembali, tapi nyatanya belum.

Dan juga pria yang berkata kalau ia ingin mengunjungi putrinya. Ia tau kalau itu adalah ayah Jungkook, karena Jungkook memanggilnya begitu.

Lalu kata-kata Jungkook. Ingin sekali Lisa bisa menjawab itu, namun seluruh tubuhnya terasa kaku. Bibirnya pun begitu. Ia hanya bisa mendengar keadaan di sekelilingnya.

***

Wanita itu duduk di kursi roda tengah menghirup udara sejuk taman milik seorang pria yang sekarang menjadi suaminya. Ia benar-benar bodoh. Tidak seharusnya ia menjawab 'ya' untuk menyelamatkan nyawa putrinya. Seharusnya ia sadar telah membuat keputusan yang salah kala itu.

Namun semua sudah terlambat. Dirinya tidak bisa melihat reaksi putrinya. Sekali lagi dihiruplah udara, lalu mengembuskannya perlahan.

Waktu bisa menyembuhkan luka atau membuat seseorang lupa pada orang yang menurutnya penting. Waktu bisa membuat seseorang melupakan luka lama. Waktu menyembuhkan segala luka dan derita yang dialami.

Seperti Nam, dia lama kelamaan lupa dengan masa itu dan ia berharap untuk tidak mengenangnya kembali. Apalagi mengulangnya.

Padahal waktu itu hatinya hampa, setelah menikah dengan seorang pria yang dijodohkan orang tuanya menyebabkan dirinya harus berpisah dengan pria yang sangat ia cintai.

Seorang bayi perempuan lahir. Lantas demi melupakan pria yang ia cintai, wanita tersebut bersama bayi bernama Lisa juga suaminya pindah ke Thailand—yang merupakan tanah air leluhurnya

Beberapa tahun berlalu, sang suami meninggalkannya. Ia pun memutuskan bahwa putrinya harus kembali pada negara yang menjadi tanah airnya, untuk mengenal darimana ia berasal.

Tapi sang anak tidak wajib tau tentang masa lalu ibunya, bukan?

Namun kini semua menjadi amburadul. Ia menyesal telah kembali, sungguh.

Ia berharap putrinya dapat memaafkannya, walaupun ia tau tidak semua yang terjadi adalah sebab dirinya. Rasanya membayangkan wajah putri satu-satunya menatap jijik dirinya adalah hal terlaknat yang tidak bisa ia terima.

"Nyonya, saya mendapat perintah untuk membawa nyonya ke ruang Tuan Jeon." Wanita itu menoleh pada sang pelayan, lantas mengangguk. Lalu sang pelayan mendorong kursi roda tersebut menuju ruang sang tuan rumah.

Netranya menangkap sosok yang berdiri tegap, membelakangi wanita tersebut.

Pria itu membalikkan badannya. "Bagaimana jika kita kumpulkan keluarga kita ini? Aku merindukan putraku."

"Aku pun merindukan putriku, idiot."

Kalau saja yang berkata itu bukanlah wanita yang ia dambakan, maka sangat sangat yakin kepalanya sudah bolong berbekas tembakan pistol yang berada di laci mejanya.

"Kau merusak semuanya. Kau monster. Jauh-jauh dariku! Jangan dekati putriku! Apa kau tidak puas mencelakai dia!" pekiknya.

Pria itu berkata dengan santainya, "Sudah kubilang kan, dia baik-baik saja. Tenang saja, dia bersama kakaknya saat ini."

"Tapi kau mencelakainya! Jangan lupakan fakta bahwa darahku mengalir di pembuluh darahnya!" pekik wanita itu.

Pria itu menyeringai. "Asal kau tau, dia benar-benar aman. Dia bersama kakaknya. Kakaknya sangat mencintainya, sampai tidak bisa meninggalkannya. Betapa indahnya keluarga kita ini."

Pria itu melanjutkan kata-katanya. "Seharusnya kau yang jangan lupa akan suatu fakta. Bahwa margamu bukanlah Manoban lagi, tapi Jeon. Namamu bukan P'Nam, namamu Yanika. Ini adalah peringatan."

© chainsther

FugitiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang