Mobil berhenti di sebuah rumah kumuh, gelap, dan dihiasi dengan tanaman rambat yang sangat sangat menjijikkan. Lisa sendiri harus ingat apa tujuannya dari awal. Dia kan ingin mengepak pakaian-pakaiannya.
Karena itu dia membuka suara.
"Maafkan aku. Tapi bisakah kau antar aku pada Jalan XXXX. Aku harus melakukan sesuatu," dia berkata dengan hati-hati. Takut salah satunya tersinggung, terutama perempuan bernama Seulgi itu.
"Akan kuantar kau sehabis ini. Aku akan kedalam, terserah ikut atau tidak, jika tak ikut kau bisa tunggu disini." Rosé berkata.
"Baiklah, aku akan tunggu disini."
"Yakin kau tak penasaran?" tanya Seulgi pada akhirnya berbicara.
"Tidak."
"Akan ada banyak diluar. Salah satunya makhluk yang tidak kasar," tutur Jennie. "Bisa dikatakan mereka yang halus," lanjut Jennie dengan smirk andalannya.
"Halus? Halus apa yang kau maksud?"
Bukannya menjawab, mereka malah menerobos masuk kedalamnya. "Hei! Tunggu aku!" teriak Lisa pada akhirnya. Perempuan itu memang memiliki pengalaman buruk mengenai hantu.
Seulgi menutup pintu rumah rapat-rapat. Perempuan itu menghela nafas kencang dan memasukkan tangannya pada saku celana jeans yang ia pakai. "Ada suatu hal yang kuingin katakan padamu." Perempuan itu—Seulgi—menghadap pada Lisa.
"Saat tadi, kami melindungimu, karena suatu alasan. Aku ingin memberitahumu, dan kuharap kau mendengarkannya baik-baik." Raut wajah Lisa memunculkan keheranan. Lisa menoleh pada Rosé ataupun Jennie yang sama sama menyimak dengan baik.
"Orang yang tadi ingin membunuhmu, pasti salah satu anak buah musuh kami. Aku yakin dia telah dicuci otaknya dan telah dimasukkan kode-kode pada otaknya. Seseorang telah mengendalikannya."
Lisa menaikkan salah satu alisnya. Bingung dengan perkataan Seulgi. "Tunggu, itu hal yang tidak logis, karena mana mungkin kode-kode dimasukkan kedalam tubuh," kata Lisa sedikit tertawa garing.
"Tentu saja itu hal yang logis. Apa kau tau musuh Captain America? Salah satunya, yang dulu menjadi temannya hingga musuhnya, karena seseorang telah mengendalikannya. Orang yang tadi ingin membunuhmu bernasib sama seperti apa yang pernah diceritakan di film-film."
Lisa berpikir keras. "Lalu bagaimana kau tau?" tanyanya masih penasaran.
Mata Seulgi memandang lurus dirinya—Lisa. "Karena aku hampir menjadi korbannya." Seulgi menoleh pada Rosé dan Jennie yang masih menyimak dengan seksama.
"Kalau tidak ada Joohyun dan Jisoo, aku mungkin sudah bernasib seperti orang yang ingin membunuhmu tadi. Diriku sangat berterima kasih pada mereka berdua," lanjutnya.
Jennie mengeluarkan kunci dari saku celananya. Dia menyingkirkan karpet yang menutupi lantai, dan terlihatlah pintu kecil di lantai itu. Bagaimana mendeskprisikannya, aku tak tau.
Jennie menarik gagang pintunya hingga terbuka. Dia meloncat turun melewati pintu itu. Diikuti dengan Seulgi, Rosé, dan Lisa.
Mereka melangkahkan kakinya, dengan senter ditangan Rosé dan Seulgi. Saat sampai Jennie berhenti dihadapan sebuah pintu besar, lalu menoleh pada mereka bertiga—khususnya Lisa. "Apa kau pikir hanya kami bertiga?" tanyanya lalu membuka lebar pintu besar itu.
Terlihatlah sebuah ruangan besar. Ralat, sangat besar bahkan langit langit ruangan itu pun setara dengan tinggi patung Liberty. Dipenuhi dengan orang berjas berlalu lalang membawa berkas. Kadang kala juga orang-orang berbalut seragam tentara sedang membawa senjata.
"Selamat datang didunia kami, Jeon Lalisa."
"Jisoo?" sebutnya pada perempuan yang tiba-tiba datang dari belakang.
***
Jungkook menatap jam dinding kamar rumah sakit yang ia tempati. Yanika masih belum sadar, dan Lisa belum juga kembali. Perasaannya kembali gundah dan khawatir. Seharusnya dia mengutus bodyguard untuk menjaga perempuan kesayangannya setelah ibunya itu.
Dia berjalan kesana kemari, sembari menunggu kedatangan perempuan yang ia cintai. Ralat, adik yang ia cintai. Memang harusnya begitu.
Dia pun menghubungi anak buah ayahnya, tentu saja anak buah Jungkook juga. "Woobin, cepat cari Lisa dirumah. Segera bawa dia padaku. Dan ingat, jangan sakiti dia. Sedikitpun. Kalau dia tak mau, pakailah otakmu."
Jungkook segera mematikan ponselnya dan melemparnya pada sofa empuk yang tak ditempati. Dia berjalan kesana kemari memikirkan Lisa, Lisa, dan Lisa.
Memang apa yang dikatakan orang benar. Kalau cinta itu berbahaya, cinta dapat membunuh. Dan keduanya, Jungkook ataupun Lisa tidak bisa menahan perasaan terkutuk itu yang semakin membuncah setiap harinya.
Selang beberapa menit, Jungkook mendapat telepon dari anak buahnya. "Kami sudah mencari didalam dan sekitar rumah. Hasilnya nihil. Dia hilang." Woobin berkata.
"Kalau begitu cari dia sampai tertemu! Cari dia!" pekik Jungkook. Dia tidak sadar ada Yanika yang masih terlelap dalam tidurnya sedangkan dia berteriak keras.
"Maaf, Tuan. Kami tidak diizinkan menuruti seluruh permintaan Tuan terkecuali telah mendapat izin dari ayah Tuan."
Kening Jungkook berkerut. Dia langsung memutuskan sambungannya dan berumpat. "Bullshit."
Jungkook menghempaskan tubuhnya pada sofa empuk yang ditempati Lisa dan sofa dimana ia melempar ponselnya. Dia mengusap wajahnya menggunakan tangan kanannya.
"Lalisa, Dimana Kau."
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Fugitive
Fanfiction[ WRITTEN IN INDONESIA ] Lisa hanya ingin kehidupannya kembali sederhana. Namun ia terlanjur masuk ke dunia Jeon Jungkook. Tentang Jungkook, dia bukan orang biasa dan dia tidak lemah. Masalah semakin rumit dengan Lisa yang tidak bisa berhenti menci...