3

271 22 2
                                    

NOT BAD

"Ketika mulut tak lagi bisa
menguntai kata-kata, lagu yang
mewakili segala rasa."

UDARA di dalam kelas mulai memanas. Semakin bertambahnya siswa-siswi yang datang membuat ruang udara yang terhirup semakin dikit. Bahkan ada sesosok gadis yang berusaha mengatur nafasnya karena sekelilingnya adalah para lelaki yang pagi-pagi sudah berkeringat.

"Lo tuh, cabe teriak cabe!" Tabita menoyor kepala Nadine dengan ekspresi wajah yang serius.

Keramaian semakin menjadi dengan kedua orang yang sedang bersitegang. Secara otomatis semua pasang mata di penjuru kelas menatap keduanya.

Nadine bangun dari kursinya. Ia berdiri menghadap Tabita. Matanya mengeluarkan api emosi dengan kedua telinga yang mengeluarkan asapnya. "Hal itu udah lalu, gak usah diungkit-ungkit lagi."

"Lo itu ya lo! Mau gak diungkit juga lo emang gitu orangnya."

Tamparan dengan cukup keras mendarat di pipi Tabita. Tabita memegang pipinya yang memerah alami tanpa blush on, bedanya rasanya panas.

"Udah gak punya harga diri, kasar. Gak pantes lo jadi cewek yang patut dijunjung kehormatannya." Tabita menekankan pengucapan kata kehormatan.

Mata Nadine menatap Tabita seperti pandangan singa yang melihat mangsanya. Perkataan Tabita terus-menerus menusuk hatinya. Terlihat beberapa orang lelaki yang mulai mendekat dan melerai keduanya. Niat mereka melerai, tetapi diiringi niat modus menyentuh kedua gadis yang sama-sama memiliki paras yang menarik.

"Udah dong, gak malu lo pada diliatin?" Ucap Rio, sang ketua kelas. Ia menyadarkan keduanya akan sekitar yang asyik menonton drama yang mereka mainkan.

"Assalamu ... Lah, pada ngapain kok pada ngumpul?"

Aldira melangkahkan kakinya mendekat, memotong kerumunan orang yang mengelilingi mejanya. Ia menemukan kedua sahabatnya sedang dalam emosi yang memanas.

Dilihatnya tangan Nadine yang terus mengepal kuat. Dengan Tabita yang meremas seragamnya.

"Lo pada ngapain sih? Udah-udah gak usah pada ngeliatin."

Aldira mengusap punggung Nadine dan menyuruhnya kembali ke kursinya. Setelah selesai mengecilkan kompor emosi Nadine, ia menghampiri Tabita yang sudah sesenggukan di kursinya.

"Lo kenapa sih, Bit? Dari dulu gak pernah akur sama Nadine?"

Pertanyaan Aldira hanya dibalas tangisan yang semakin menjadi. Aldira terus mengusap punggung Tabita yang bergerak naik turun dengan nafasnya yang berat. Matanya menatap Nadine yang mengacak rambutnya frustasi.

Yang Aldira tahu hanya 1, kedua sahabatnya tidak pernah akur tanpa ia tau penyebabnya.

***

Kriingg

Bel istirahat membuat seluruh siswa-siswi berhamburan dari tempat duduk mereka masing-masing dalam hitungan detik. Sedangkan Aldira masih di tempat, sibuk merapikan bukunya dan melirik ke arah Tabita.

Ia tahu pasti, jika Tabita sedang dalam kondisi yang tidak baik, gadis itu sama sekali tidak suka diajak mengobrol. Apalagi dipaksa untuk menjelaskan apa yang terjadi.

"Bit, gue keluar ya. Lo kalo laper ya makan. Duluan."

Aldira menepuk sekali bahu Tabita dan pergi menghampiri Nadine. "Ikut gak, Din?"

Nadine hanya melirik dengan tatapan yang sangat tidak menyenangkan bagi Aldira. Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan malas pertanda ia tidak ingin pergi dengan Aldira.

UNCERTAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang