16

155 17 0
                                    

My feelings
Arsen Point of View

"Perasaan itu ada untuk dibuktikan, bukan sekedar diucapkan adanya."

NAMAKU Arsen Alexi Gracio. Aku yang baru saja datang dan ingin memasuki kelas untuk mengerjakan tugas harus menghadapi seorang perempuan yang sedang mengata-ngatai diriku. Memang rumor bahwa diriku pemberi harapan palsu sudah sering aku dengar tetapi baru kali ini ada yang berkata langsung padaku.

"Lo punya hati gak sih?" Bentak gadis itu.

Gadis itu menunjukkan eskpresi dia yang marah padaku. Aku baru merasakan melihat singa dari dekat.

Alisku aku tautkan dan melepaskan salah satu tali tasku dari bahuku. Sehingga hanya satu tali tas yang berada di bahu kananku. Aku melakukannya untuk menunjukkan letak hatiku pada gadis itu.

"Punya lah. Mau liat?" Jawabku.

Aku bisa melihat kedua tangan gadis itu yang mengepal kuat-kuat. Ia menahan emosi atau grogi berhadapan denganku?

"Lo emang hobinya ngasih semua cewe harepan trus pergi ya?" Tanya gadis itu.

Gadis itu kembali memekakkan gendang telingaku yang bergetar dengan getaran di luar batas normal. Aku membalas tatapannya. Aku yakin pasti, bahwa gadis ini tidak pernah berinteraksi banyak padaku. Mengapa ia harus marah?

"Emang gue pernah php-in lo?" Tanyaku yang penuh dengan rasa penasaran akan tujuan dia menunjukkan amarahnya pada khalayak ramai di depan kelasku.

"Gak pernah," jawabnya singkat dan membuat aku kembali berpikir.

"Lalu?" Aku mengatakan apa yang aku ingin ketahui. Untuk apa dia berbuat seperti ini.

Aku melihat dia mempertemukan kedua barisan gigi atas dan bawah. Seperti ibu yang gemas melihat bayinya.

"Tapi kan lo selalu bersikap gitu ke cewek."

Jawaban dia kali ini membuat otakku berputar sejenak. Jika memang orang yang berkata begitu kenapa dia harus peduli dan menghampiriku saat ini?

"Siapa?" Tanyaku menyuruh dia untuk memberikan contoh orang yang merasa aku berikan harapan.

"Gatau," jawabnya lagi-lagi singkat.

"Kalau gatau ya udah diem aja."

Aku bisa melihat perubahan raut wajahnya yang sangat mencolok. Wajahnya terlihat ada beberapa kerutan terutama di bagian dahinya. Tak lama aku mendengar ia mendecakkan lidahnya.

Aku memutuskan untuk bertanya, "Ada masalah apa lagi?"

Mata gadis itu seakan menemukan jawaban panjang dari sekian jawaban pendeknya. "Tabita. Lo pernah ngasih harapan dia trus pergi."

"Gue yang ngasih harapan atau dia yang terlalu berharap?" Tanyaku memberi dia pertanyaan yang membuat emosinya semakin menaik.

Dalam hati aku tertawa tetapi dalam pikiranku terbesit nama Aldira. Nadine, gadis di hadapanku kini adalah teman Aldira. Apakah dia mengutarakan apa yang Aldira rasakan? Jika ia mengutarakan perasaan Tabita pun sudah sangat terlambat. Kejadian aku menyuruh Tabita untuk berhenti berharap sudah lalu.

"Lo tuh ya!"

Tangan Nadine yang mengepal dengan kepalan yang tak sekuat awalnya akan mendarat di dadaku tetapi ternyata tidak jadi. "To the point aja. Tujuan lo apa nyam ...." Ucapanku terpotong olehnya yang sudah membuka mulutnya lebar-lebar.

"Lo suka gak sih sama Aldira?"

Dalam dua detik Nadine mengutarakan pertanyaan itu. Dalam lebih dari dua detik aku berusaha memikirkan jawaban apa yang aku rasakan pada Aldira.

"Menurut lo?"

Entah mengapa sebuah frasa itu keluar begitu saja dari mulutku. Melantun begitu saja dengan nada yang membuat orang lain sebal mendengarnya.

"Enggak suka. Tapi lo ngasih harapan doang," ucap Nadine dengan penekanan di bagian pengucapan harapan.

Hatiku merasakan sesuatu yang aneh ketika Nadine berbicara seperti itu. Nadine yang berbicara tetapi seakan perasaan sakit Aldira yang sampai padanya.

"Emang perhatian gue selama ini gak cukup buat buktiin gue suka sama dia?"

Kring kring

Suara bel jam pertama berbunyi dengan lantang. Nadine terlihat tergesa-gesa tetapi masih berdiri di tempatnya. Aku bisa melihat jelas ekspresi wajahnya yang sudah larut dalam berbagai perasaan.

"Lo, suka Aldira? Kok gak bilang?"

"Kalau perasaan bisa dibuktikan dengan perbuatan kenapa harus pake ucapan yang bisa aja sebatas perkataan aku suka kamu."

***

FLASHBACK

Aku menyukai Aldira semenjak beberapa hari lalu. Sebenarnya bukan menyukai, aku hanya tertarik padanya. Ia tak seperti gadis kebanyakan yang mencari perhatianku. Aku suka sikapnya yang abstrak, susah untuk ditebak.

Niat untuk meminta bantuan dia agar merawat wajahku pun bukan modus seperti cowok lainnya. Tetapi aku hanya ingin memastikan. Apakah sungguh aku jatuh cinta padanya ataukah hanya perasaan sesaat. Tetapi ternyata, aku benar jatuh cinta padanya. Sehingga aku tak bisa berkata dengan santai mengajaknya pergi promnite bersama.

Di malam promnite aku berkali-kali menatap Aldira dari kejauhan. Aku ingat pasti dress yang aku berikan padanya. Dan aku selalu menyadari kemana ia pergi. Wajahnya terlihat sangat cantik malam ini walaupun ia memang selalu terlihat cantik.

Polesan make-up yang membuat ia terlihat natural dan rambut yang ia urai membuat aku berhalusinasi bahwa Aldira mempunyai sayap bak malaikat. Mungkin ia benar mempunyai sayap dan membuatku terbang sebegini tingginya.

Aldira cinta pertamaku.

Gerombolanku mengajak untuk membeli cemilan yang membuatku harus lewat di hadapan Aldira. Aku berniat untuk berpura-pura tidak melihatnya dan bersikap cuek. Jika tidak aku akan ada niat jahat untuk menculiknya malam ini juga.

"Di, Arsen mana?"

Aku bisa mendengar pertanyaan Aldira yang sanggup membuat mataku melotot dan ingin jatuh. Aku menghadap ke arah yang berbeda dengan posisi Aldira. Menyembunyikan kegugupanku padanya.

"Tuh."

Aku mendengar juga Aldi menjawab dan mungkin ia sedang menunjuk ke arahku. Drama pun aku mulai dengan asyik berbicara dengan beberapa temanku yang lain.

"Sen, dicari Aldira nih." Aldi sedikit memperkeras suaranya agar tak kalah dengan musik yang terus berdentum keras. Bahkan jika dia bersuara normal pun aku sanggup mendengarnya asalkan berkaitan dengan Aldira.

Aku menoleh dan mendekatkan daun telingaku pada Aldi. "Ha?" Itu juga termasuk dalam dramaku.

"ALDIRA!" tegas Aldi semakin berteriak.

"ALDIRA?" Ucapan yang aku lontarkan dengan nada bertanya baru saja bertepatan dengan berhentinya musik. Tentu suaraku terdengar lantang, membuat orang-orang di sekitarku langsung terpusat padaku.

Aku tersenyum pada Aldira. Jangan bersikap manis, aku gemas.

"Hai, Dir," sapaku dan kembali berbincang-bincang dengan lelucon bersama teman di sampingku.

Kakiku terus mengikuti langkah kaki para temanku yang terus bergerak menjauh. Walaupun jiwaku tertarik oleh magnet Aldira, tetapi ragaku terbawa oleh teman-temanku.

FLASHBACK OFF

Aku Arsen Alexi Gracio jatuh hati pada Aldira Alonsa Gerda.

BERSAMBUNG

UNCERTAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang