24

155 11 0
                                    

BENCI

"Aku ingin orang mengerti perasaanku tanpa aku bercerita."
ALDIRA POINT OF VIEW

VIGO sempat pamit dengan datang ke rumahku kemarin. Ia pergi untuk kembali ke kotanya. Kembali bersekolah di sana. Alasannya dia pindah sekolah karena ayahnya kerja di sana. Sanak saudara Vigo pun di sana. Hari ini hari Senin dan hari masuk sekolah bagi anak SMA pada umumnya. Pantas Vigo pergi kemarin.

Kepergian Vigo seakan tak membuat dia pergi dari pikiranku. Sebenarnya aku tidak senyaman dulu ketika bersama dengannya. Tapi aku ragu untuk melepasnya begitu saja. Tepatnya, aku takut kehilangan.

Aku sadar aku egois.

Mementingkan diriku saja yang tak ingin kehilangan Vigo dan juga menyimpan rasa pada Arsen. Tetapi perasaan yang bertindak tanpa meminta persetujuanku.

Papa masih saja sibuk kerja. Hidupnya ia habiskan di kantor dan pulang ke rumah cukup larut malam. Bertemu dengannya akhir-akhir ini pun mu'jizat bagiku. Papa berangkat jam 5 pagi dan pulang jam 11 malam. Sedangkan jam 5 pagi aku baru membersihkan debu yang mengering di ujung mataku dan masih terkena gravitasi kasur. Dan jam 9 malam aku sudah terlelap.

Keadaan papa yang gak memungkinkan untuk mengantarkan aku ke sekolah memaksa aku untuk berangkat sendiri. Tak lagi dengan Nadine karena aku tak ingin punya hutang budi padanya. Gojek menjadi keseharianku untuk saat ini. Karena memang hutang papaku mulai mengurang sehingga uang sakuku kembali utuh.

Aku yang masih dalam pikiran yang kacau keluar dari kawasan rumah dan menutup kembali gerbang rumah yang terasa berat bagiku. Menguncinya dengan gembok sesuai perintah mama.
Sebuah sepeda motor berwarna merah sudah ada di hadapanku. Entah pikiran apa yang membuatku naik ke sepeda itu dan membiarkannya membawaku. Aku tak diberi helm oleh driver ini. Ingin saja mengumpat tetapi pagi ini terlalu cerah untuk emosi.

"Helmnya--"

Aku melihat ke arah spion sepeda ninja berwarna merah. Melihat bayangan wajah Arsen yang memantul di spion.

"Loh kok lo jemput gue, Sen?" Aku mengutarakan pertanyaanku.

"Loh kok lo tiba-tiba naik, Dir?"

Jawaban Arsen yang membalikkan pertanyaanku membuat aku malu sendiri. Bagaimana bisa aku terasa tersihir dan naik ke sepeda Arsen begitu saja. Dengan cepat aku membatalkan gojek yang tadi aku pesan.

Tepat seperti perkataanku, Arsen itu abstrak.

***

Aku sudah duduk di kursiku dengan wajah yang kesal. Tepatnya bukan kursiku, tetapi kursi Tabita yang dulu. Aku memang sudah memaafkan Nadine. Tetapi aku sudah mengatakan padanya bahwa aku tidak bisa melupakan. Ditambah melihat pertemuannya 3 hari lalu dengan Vigo. Itu cukup menyakitkan bagiku.

"Pagi, Dir."

Nadine sudah duduk di kursi yang ada di hadapanku. Matanya menatap mataku yang malas membalas tatapannya.

"Lo bete, Dir? Pagi-pagi gini?"

Aku ingin menjawab 'iya' dengan lantang dengan keterangan 'gara gara liat muka lo lah'. Tetapi ternyata aku tak sejahat itu. Aku memutuskan untuk to the point agar pagiku tak berantakan.

"Lo abis jalan kan sama Vigo?"

"Lo bete sama gue, Dir?"

"Pake tanya."

Aku bisa melihat jelas senyuman yang Nadine perlihatkan padaku. Entah aku tak mengetahui maksud senyuman itu. "Gue ketemu dia di mall. Sekali itu doang kok. Bahasannya juga gak penting--"

"Bagi lo gak penting tapi bikin Vigo baper," selaku.

Nadine menatapku tajam. "Dia baper?"

Aku hanya melengos. Diam tak menjawab.

"Kan dia yang baper, Dir. Bukan gue."

Aku menatap Nadine malas. Perkataannya memang benar. Tetapi kodratnya cewek ya marah kepada cewek lain yang lagi deket sama cowoknya. Tunggu. Aku lupa, Vigo bukan lagi pacarku.

"Lo cemburu?" Tanya Nadine ketika aku merasa perbincangan sudah selesai.

Aku bertanya pada hatiku sendiri jawaban dari pertanyaan Nadine. "Gak tau."

"Jangan santai aja, Dir. Disana Arsen lagi berjuang buat lo. Bukan berarti gue mau lo jadi sama Arsen dan gue sama Vigo. Gue hanya mau memperlihatkan lo, mana usaha yang nyata," jelas Nadine yang sedikit menghilangkan perasaanku pada Vigo setelah meresapi kalimat terakhir yang ia ucapkan.

Nadine kembali membuka mulutnya. "Dan perlu lo tau, gue udah jadian sama Michael."

"Bahas apa nih?" Tanya Tabita yang tiba-tiba saja sudah ada di kursi sebelahku.

Aku menggeleng. Nadine juga menggeleng. Tabita hanya mengangguk mengerti dan menaruh tasnya di meja. Kepalanya ia sandarkan di tasnya.

"Lo kenapa, Bit?" Tanyaku.

Tabita tersenyum padaku. "Abis drakoran sampe subuh, belum tidur. Ngantuk. Hehe."

{Drakor = Drama Korea}

Dari perbincangan baru saja dengan Nadine. Aku menyadari bahwa Arsen terlalu sayang untuk aku abaikan. Masalah Vigo, aku harus menyerah. Usahanya sama sekali tak terlihat. Aku yang selalu negative thinking dan Vigo yang tak pernah menjelaskan keadaan. Kami memang gak cocok.

Rasa takut kehilangan itu pasti ada. Tapi aku tidak mau memaksakan apa yang sebenarnya bukan diperuntukkan untukku.

***

Aku duduk di meja kantin dengan Nadine yang berada di sampingku dan Tabita yang berhadapan denganku. Ketika pesanan 3 mangkuk bakso dengan teh hangat sampai di meja kami, kami segera menyantap hidangan dengan lahap.

Pelajaran Pak Seno sang guru sejarah peminatan yang super duper membosankan membuat lambungku mencerna dengan cepat. Sehingga lapar itu datang lagi.

Baru saja beberapa sendok bakso masuk ke dalam mulutku. Aku melihat Arsen yang sedang memakan mie pangsit tepat di hadapanku. Sejak kapan Tabita bergeser dan sejak kapan Tabita mau berada di hadapan Nadine?

"Hai," sapa Arsen ketika ia menyadari aku menatapnya tajam.

Mataku bermain dengan Tabita yang hanya terkekeh melihatku keheranan.

"Lo kok disini?" Tanyaku setelah melihat golongannya yang ada di tempat mereka. "Temen-temen lo gak lagi bayar hutang puasa kan?" Tegasku mengingat alasannya duduk denganku dan kedua sahabatku jauh hari.

Arsen tertawa. Ia menggelengkan kepalanya. "Gak tau ya. Lo itu engga terlalu cantik, baik juga gak begitu, tapi lo itu punya magnet yang narik gue buat ndeket ke lo terus gitu."

"SIKAATTT." Teriakan teman-teman Arsen menjadi backsound di akhir kalimat yang Arsen lontarkan padaku.

Jujur aku malu. Beberapa -ralat- seluruh siswa-siswi di kantin menoleh ke arahku. Arsen memang punya nama walaupun tak begitu tenar. Tetapi pasti hal yang menarik bagi orang lain melihat orang yang sedang PDKT.

Tunggu? Kenapa aku terlalu PD?

Arsen tertawa masam dan pergi begitu saja membawa mangkuk mie pangsitnya.

"Cie." Ledekan singkat dari Tabita cukup membuat kedua pipiku memerah.

Nadine terdiam tak berkutik. Canggung.

Arsen tak pernah menyatakan perasaannya langsung padaku. Bahkan mengenai pengakuan perasaannya padaku melalui Nadine aku tak tau secara kronologisnya. Bagaimana cara aku membalas perasaannya jika begitu?

"Tarik nafas. Buaang."

Tak jauh dari meja kantin yang aku singgahi, aku bisa melihat kawanan Arsen yang berusaha mengatur nafas Arsen. Sepertinya ucapan temannya bahwa aku cinta pertamanya memang benar.

***

BERSAMBUNG

UNCERTAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang