CAREFULLY
"Lelaki romantis bisa membuat senang wanitanya. Tetapi lelaki humoris bisa membuat bahagia wanitanya. Asal kamu tau, bahagia itu satu tingkat di atas senang."
ALDIRA memutar mesin yang ada di otaknya. Mesin yang ia biarkan menjadi media pembuatan sarang laba-laba ia aktifkan kembali demi soal matematika yang membuat beberapa saraf otaknya hampir mati. Ia melirik ke arah Nadine yang sama kesusahannya dengannya. Matanya beralih ke Tabita yang mengerjakan dengan santai.
"Bita mah anaknya matematika," gumam Aldira menaruh pensilnya kasar.
Kriingg
Senyum Aldira mengembang seketika, mendengar suara bel yang sangat dinantikan hampir semua orang, terutama dirinya. Aldira selalu mengharapkan bel, sama seperti ia mengharapkan Vigo kembali.
Aldira segera mengumpulkan lembar jawaban matematika yang telah penuh. Penuh dengan gambaran anime dan beberapa emotikon, bukan penyelesaian soal. Ia menyerah untuk matematika.
"Bit, Din, kantin yok."
"Lo kan bawa bekal, Dir," sahut Tabita dengan tangan yang bergerak untuk mengeluarkan kotak makannya.
Aldira mengangguk pasrah. Ia ingin keluar kelas. "Tapi makan di depan kelas ya?" Matanya menatap kedua sahabatnya nanar dengan didukung wajahnya yang memelas.
Nadine melirik ke arah Aldira. "Mau tebar pesona ke siapa sih, Dir?"
Sakit. Perkataan Nadine membuat ia merasa seperti wanita yang sedang butuh diperhatikan. Walaupun pada kenyataannya memang iya.
"Pengen lah sekali-kali jadi anak luar kelas."
Nadine dan Tabita hanya tersenyum tidak percaya ke arah Aldira. Mereka tahu Aldira sedang membuka lowongan kerja untuk lelaki yang bisa membahagiakannya.
Kedua sahabat Aldira saling kontak mata masih dengan senyuman jahil yang mereka tujukan untuk Aldira, tetapi ketika keduanya menyadari kontak mata yang mereka lakukan tanpa sadar, senyuman itu luntur seketika.
Mereka itu seperti api sama oksigen. Saling membutuhkan. Tetapi kalau ketemu membara.
"Udah lah, ayo."
Ketiganya duduk di bangku yang berada tepat di depan kelas mereka. Posisi Aldira yang di tengah menjadi penghalang kedua sahabatnya yang memakan bekal. Sedangkan Aldira hanya memakan roti sandwich dan memangku sekotak susu coklat.
Aldira terus menatap layar handphonenya yang biasanya sudah ada notif dari Vigo.
Tetapi harapannya harus bersanding dengan kata pupus. Pupus harapan.
Kedua bola mata Aldira sesekali melirik ke arah depan kelasnya yang merupakan lapangan basket outdoor. Jika di film, banyak cowok keren yang sedang bermain basket. Pada kenyataannya, hanyalah daun yang di tengah lapangan yang digerakkan oleh angin.
"Ga makan, Dir?" Tabita membuka mulutnya setelah mencerna beberapa sendok nasi dan lauk.
Aldira menunjukkan roti yang ia pegang di tangan kanannya dengan kedua alis yang ia naikkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNCERTAIN
Teen Fiction"Aldira udah ngelewatin banyak masa. Dimana dia mengalah untuk sahabatnya, menunggu lo yang baik ke semua orang, mantannya yang balik. Sekarang waktu lo buat berjuang."