KHAWATIR
"Ketika perasaan ini memilihmu, kamu hilang. Aku harus apa?"
LANGKAH kaki Aldira terus menyusuri koridor sekolah. Tujuannya membagikan surat yang dititipkan guru tata usaha kepadanya untuk ia berikan ke setiap kelas. Tujuannya memang satu, tetapi dalam hatinya ada beberapa niat, mencari Arsen.
Sedari pagi Aldira tak melihat Arsen. Di kantin, koridor, maupun lapangan basket tempat Arsen biasa bermain dengan teman-temannya.
Aldira kini sudah terduduk di kantin dengan es teh yang berada di meja tepat di hadapannya. Ia melihat ke arah meja biasa gerombolan Arsen berkumpul, tapi ia masih saja tak menemukan Arsen. Sudah istirahat kedua, Arsen belum terlihat.
Handphone Aldira sudah ada dalam genggamannya. Memberi kabar Tabita untuk menemaninya di kantin.
"Ajak Nadine juga gak ya? Gak deh, gengsi."
Gadis itu bergumam sendiri. Memang, sehabis Nadine memberikan penjelasan mengenai pertemuannya dengan Vigo beberapa hari lalu, ada kecanggungan di antara mereka.
Aldira sibuk membuka aplikasi game Let's Get Rich dan memainkannya. Baru saja ia hendak memulai game, Tabita datang dan meminum es teh miliknya.
"Lancang."
"Gak lancang kok, aus," balas Tabita dan tersenyum lebar.
Aldira mengeluarkan aplikasi Let's Get Rich dan menatap Tabita dengan pandangan serius.
"Apaan, Dir? Lo natep gue gitu banget?"
"Lo tau Arsen sekarang dimana gak?"
Tabita menggeleng.
***
Kelas sudah berakhir dengan Tabita yang sudah meninggalkan Aldira dengan Nadine berdua di kelas. Anak lain juga sudah meninggalkan kelas.
Dalam hati Aldira ia ingin bertanya pada Nadine mengenai keberadaan Arsen. Tetapi kegengsian itu masih ada dalam dirinya.
"Em," gumaman keluar dari mulut Aldira tanpa ia sadari.
Nadine menoleh dan menatap mata Aldira. "Lo gimana, Dir, sama Vigo?"
Bukan penjelasan, Aldira justru menerima pertanyaan dari Nadine.
Aldira menggeleng. "Emang gak cocok." Hanya 3 kata yang mau ia ungkapkan pada Nadine mengenai Vigo.
Keduanya memang tidak cocok. Tidak ada cuek yang bersatu dengan negative thinking. Ada, jika ada usaha. Tetapi mereka tidak punya hal itu.
Nadine mengangguk mengerti dan segera memakai tasnya. Ia hendak berjalan keluar kelas dengan badannya yang menghadap Aldira untuk pamit.
"Gue seharian juga gak liat Arsen. Gak cuman lo aja. Gue duluan ya."
Ucapan Nadine seakan bisa mendengar batin Aldira. Aldira hanya menajamkan matanya pada sesosok yang berjalan pergi dan meninggalkan dirinya seorang diri di kelas.
"Serem."
Aldira dengan rasa takutnya segera berlari keluar kelas setelah sadar bahwa ia sendiri di dalam kelas yang berukuran cukup besar. Kakinya terus melangkah hingga wujudnya ditelan tikungan.
***
Tak ada satu pun berita mengenai Arsen yang sudah 3 hari tidak masuk sekolah yang Aldira terima. Bahkan hampir semua teman dekat Arsen yang Aldira kenal menjawab 'tidak tau' ketika Aldira menanyakan keberadaan Arsen.
"Kalo di cerita nih, cowoknya ngilang biar ceweknya penasaran," ucap Aldira pada Tabita yang kini berada di sebelahnya. Keduanya berjalan ke arah kamar mandi yang cukup jauh dari kelasnya.
Tabita hanya tertawa dan menyenggol lengan Aldira untuk menyadarkan sahabatnya itu. "Kebawa suasana novel lo."
Aldira mengerucutkan bibirnya dan benar-benar dalam kondisi mood yang tidak baik.
Ia sekolah untuk menuntut ilmu. Tetapi jika tidak ada Arsen yang membangkitkan semangatnya, sekolah terasa sia-sia bagi Aldira.
"Lo udah gak ada rasa ya sama Vigo?" Tanya Tabita penasaran pada Aldira yang kini memasang wajah datar.
Aldira tak menoleh ke arah Tabita yang menatapnya serius. "Lo udah gue ceritain kan masalah dia ketemu Nadine dan gak jelasin keadaan? Malah muji-muji Nadine."
"Iya, terus?"
"Hal sepele aja gue sama dia gak bisa selesaiin apalagi yang besar. Lo tau gak, gue terakhir bales line-nya itu senin dan sekarang udah Jum'at," jelas Aldira yang dengan malas-malas untuk melanjutkan kalimatnya.
"Lalu?"
Aldira membuang nafasnya. "Dia gak ngasih kabar sama sekali setelah itu. Rasa berjuangnya itu lo, Bit. Udah gak ada."
***
Aldira berjalan seorang diri di koridor sekolah untuk segera menuju gerbang sekolahnya. Matanya terus menatap ke arah jalanan.
Tak ada yang bisa ia ajak berbicara karena Tabita sudah pamit pulang lebih dulu dan Nadine pamit untuk ke kelas Michael.
Sesekali Aldira melirik ke arah taman mini di sepanjang koridor menuju gerbang sekolah.
"Dir, Dir. Bokap nyokap gue kecelakaan."
"Demi apa lo, Din?"
Baru saja Aldira berjalan sendiri, kini sudah ada Nadine dengan Michael di sampingnya. Ekspresi wajah Nadine masih shock mendengar kabar yang baru saja ia sampaikan pada Aldira.
"Lo tau dari mana?" Tanya Aldira berusaha menenangkan Nadine yang berjalan semakin cepat.
Ini beda urusan. Jika sahabat terkena musibah, masalah yang ada nomer dua.
Nadine hanya menunjukkan handphonenya yang ia gerakkan di hadapan Aldira. Pertanda ia tahu kabar mengenai kedua orang tuanya dari telpon.
"Lo sekarang tenangin diri dulu, biar dianter sama Michael ke rumah sakit. Entar kabarin gue rumah sakit dimana," ucapku pada Nadine dan beralih menatap Michael. "Anterin Nadine gih buruan, jagain dia."
"Siap."
Nadine terlihat menahan isak tangisnya. Memang. Ia anak tunggal dengan segala fasilitas yang diberikan padanya oleh kedua orang tuanya yang sangat berkecukupan. Dan jika kedua orang tuanya pergi tentu ia akan benar-benar merasakan kehilangan.
Dalam hati Aldira terus menyebut nama Allah agar menyelamatkan kedua orang tua Nadine.
"MICHAEL!"
Baru saja Aldira merasakan tenang di hatinya, suara teriakan Ringgo datang dan merusak ketenangannya.
"Eh, hai, Dir," sapa Ringgo dan melanjutkan langkah kakinya mengejar Michael yang sudah berjarak cukup jauh darinya.
Entah ada sesuatu apa yang menghambat Ringgo untuk mengejar Michael. Ia mengerem tubuhnya untuk berhenti dan berbalik arah. Kali ini ia berlari ke arah Aldira.
"Dir, Dir. Arsen dirawat di rumah sakit."
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
UNCERTAIN
Teen Fiction"Aldira udah ngelewatin banyak masa. Dimana dia mengalah untuk sahabatnya, menunggu lo yang baik ke semua orang, mantannya yang balik. Sekarang waktu lo buat berjuang."