26

145 12 0
                                    

UNGKAPKAN

"I said I was fine,
but I never said I didn't hurt."

ARSEN POINT OF VIEW

KABAR yang entah baik atau buruk, aku terima baru saja. Arkhan, adikku, ia sedang ada dalam rumah sakit yang entah sakit apa. Yang aku tahu hanya ia membutuhkan donor ginjal.

Aku memang membencinya. Tapi aku khawatir.

Cklek

Dengan segala niat yang aku kumpulkan di hatiku, aku membuka pintu ruang perawatan Arkhan. Tangannya dibius, lubang hidungnya disumbat oleh selang oksigen, matanya terpejam.

"Sen."

Suara wanita paruh baya mulai mengalihkan perhatianku.

"Mama bingung," ucap wanita paruh baya itu lagi.

Aku berjalan mendekatinya. Tanganku dengan otomatis melingkari bahunya.

"Ginjal mama tinggal 1, papa kamu di luar kota."

Aku terdiam. Mengingat kejadian beberapa tahun lalu ketika mama mendonorkan ginjalnya untuk kakaknya.

Pernyataan mama tak ku jawab. Mataku kembali kualihkan ke arah Arkhan.

Dia adikku, bukan musuhku.

"Ginjal Arsen cocok gak, Ma?"

Entah pertanyaanku salah atau tidak sehingga mama menatapku dengan tajam. Matanya yang sembab penuh dengan rasa ketidakpercayaan.

"Kamu--mau donorin?" Mama masih saja menatapku tak percaya.

Salahkah aku bersikap dewasa demi keselamatan adikku? Aku mengangguk saja tak ingin berkomentar terlalu panjang. Dalam sekejap mama sudah tak lagi di kursi yang ada di dekat dengan ranjang Arkhan. Ia sedang berlutut dan memeluk lututku erat.

Ini pelukan mama yang pertama, Ma.

Aku segera berjongkok dan melepas dekapan mama pada kakiku. Kali ini ia memeluk tubuhku dengan erat. Pelukan yang terakhir aku rasakan ketika aku masuk bangku 1 SD.

Jika bisa aku akan donorkan semua organ yang ada dalam diriku untuk Arkhan. Agar aku bisa merasakan perhatian seorang ibu.

***

Semua berjalan begitu saja tanpa aku sadari. Aku merasakan tangan seseorang yang mengusap punggung tanganku. Tetapi mataku terlalu berat untuk ku buka.

Apa operasinya berjalan lancar?

Aku terus berusaha membuka mataku yang terasa diganjal oleh jala. Rasa kantuk datang. Aku tidur saja sebentar. Mungkin sehabis ini aku bisa membuka mataku.

Drtt drtt

Mataku terpejam tetapi aku tidak tertidur. Sekitar 15 menit aku masih saja memejamkan mata ini. Sampai aku merasakan getaran di dekatku. Mungkin di meja yang aku ingat sebelum operasi ada di sebelah kanan ranjang tidurku.

Ku buka perlahan mataku yang sudah tak terlalu berat. Cahaya masuk dengan cepat ke dalam mataku. Membuat aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Ketika mataku terbuka sempurna, tak ada siapa pun yang kutemukan. Aku tak terkejut karena memang tugasku di dunia ini sepertinya hanya membahagiakan keluargaku, kehadiranku tak mereka butuhkan.

Aku melirik ke arah meja yang ada di sebelah kanan ranjangku. Tepat seperti dugaanku ada handphoneku di sana. Ketika aku menoleh kepalaku tak sakit seperti yang aku bayangkan. Tanganku yang masih lemas meraih handphone itu. Aku berdehem menyiapkan suara untuk menerima panggilan dari Aldi.

UNCERTAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang