Sahabat kan lebih penting

130 7 0
                                    


Imel POV

Aku sedang membawa sekotak kue donat pesanan Bunda Laras, rencananya kue donat itu akan di jadikan buah tangan buat tamu siang ini. Hitung- hitung sebagai ucapan terimakasih dari kami, apalagi ini dari keluarga bunda Nia. Keluarga mereka sangat dermawan,  sudah menjadi rutinitas mereka  berbagi dengan kami anak anak panti.

Tapi tiba-tiba dari arah depan ku lihat seorang gadis yang kelihatananya terburu buru menabrakku

"Ad ..." mata gadis itu seketika menatapku, sepertinya hendak memaki. Karena wajahnya tampak suram, dia sudah emosi sebelumnya sinar matanya seolah ingin menerkamku.

Aku memcoba minta maaf, karena walaupun aku tidak salah tapi aku harus tetap menghormati tamu. Ku lihat di sebelahnya ada seorang pemuda tampan menatapku sebentar kemudian berbisik menenangkan gadis itu. Gadis itu kemudian berlalu pergi dengan wajah menakutkan, tinggal aku dan pemuda itu. Pemuda itu tampan, rambutnya ikal, hidungnya mancung. Dia mencoba bertanya padaku tapi aku menghindar karena tiba-tiba aku ingat kalau ada janji dengan salah satu temanku.

"Hai." sapaku ketika melihat temanku  rupanya dia sudah menunggu.

"Hai juga." jawabnya sambil tersenyum.
Dia teman lesku. Kami kenal sejak setahun lalu.

"Tadi ada keperluan sebentar, Kak cell. "

Namanya Marcello, tapi dia menyuruhku memanggilnya Cello, orangnya sangat tampan dan juga pintar, dia pandai bermain piano dan dia sering membantuku ketika les. Sayang dua bulan lalu bunda Laras memintaku keluar dari tempat les, tpi itu tidak membuat hubunganku dan Cello renggang. Dia masih sering mengunjungiku.

"Memang acaranya sudah selesai ya? " kalimatku itu memecahkan kebisuan kami.

Cello menganguk, "Tapi kalo Lo masih repot, silahkan di lanjutkan mel, takutnya gue yang ngganggu. "

"Tidak kok Kak Cell. Kita kan sudah janji ketemu. Harusnya gue yang minta maaf sudah telat." jawabku sambil memepersilahkan Cello duduk, kemudian aku melangkah kedalam mengambil buku pelajaranku. Aku mau tanya beberapa soal yang tidak ku mengerti padanya.

"Ah ... Lo mel. Sahabat kan lebih penting, sudah seharusnya saling membantu." aku sedikit kaget tatkala dia menyebutku sebagai sahabat.

"Eeh ... pelan-pelan dong mel," katanya sambil menepuk nepuk pundakku.

"Kenapa musti tersedak sih? Gue salah bicara? "

Aku nyengir, " Nggak. Kaget aja Lo nganggap gue sahabat hehehe."

"Lho emang Lo keberatan gue sebut sahabat mel? Jangan-jangan selama ini Lo nganggap gue orang asing. "

"Kita kan jarang ketemu KakCell Apalagi sekarang. Gue malah tersanjung Lo anggap sahabat, tidak kepikiran sampai ke situ" Cello berlagak ngambek, aku tergelak. Dia memang pintar membuatku tertawa lepas.

"Baru juga anggap sahabat Lo udah tersanjung mel ... apalagi gue anggap pacar " Gumam Cello yang masih bisa ku dengar.

Lalu datang pemuda yang aku temui di tempat acara tadi, dia segera meninju pundak Cello dengan semangat.

"Di sini rupanya Lo, Cell ?" Sapa pemuda itu sambil melirikku.

"Kok belum pulang? Tadi gue sudah bilang...." ucapan Cello di potong pemuda itu.

"Mama ternyata sudah pulang. " Jawabnya singkat. Aku memutar mataku mencoba mencerna, berarti pemuda ini putra dari bunda Nia. Berarti Dia di jodoh kan denganku. Ya Tuhan.

Aku segera mencoba mencari alasan pergi, belum siap bertemu dengannya. Udara sekitar tiba-tiba panas, apalagi saat dia menatapku seolahh menguliti.

"Lo mengenalnya Cell? " tanya pemuda itu dengan tetap menatapku, aku gugup di buatnya entah karena apa.

"Teman les gue, Van. Mel ini sahabat gue dari bayi. Vano ..." aku tahu Cello berniat membuat membuat lawakan tapi sama sekali tidak membuatku tertawa.

Pemuda itu mengulurkan tangannya seperti beberapa waktu yang lalu.

"Vano " ucapnya.

"Imel "jawabku menjabat tangannya sekilas, lalu berlari pergi. Tak ku hirau kan teriakan Cello yang minta penjelasanku, yang aku pikirkan cuma satu pergi secepatnya dari tempat itu.

reply 2000Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang