Chintya membaca ulang jadwal Vano hari ini. Jadwal yang sudah tertata rapi sejak beberapa bulan lalu itu, terpaksa harus di atur ulang karena tiba-tiba saja Vano minta mengosongkan waktunya pada Minggu malam.
"Biasanya kamu santai-santai saja, kenapa sekarang jadi cerewet gini?" protes Chintya kesal.
"Ini weekend Chin, waktuku Wakuncar, berduaan sama some one."
"Jangan ngledek. Iya, ya. Yang sekarang punya pasangan. Pamer Mulu"
"Putusin aja tuh si Randi, punya pacar cantik gini nggak pernah di apelin, kasian"
"Apa bedanya? Dulu pas Randi masih tugas di sini, malam Minggu juga dia nggak bisa ngajak aku jalan."
Vano tertawa, dulu ketika dia masih jomblo manis, dia paling tidak suka dengan orang yang malam mingguan. Jadi ia malah sengaja mengambil job malam Minggu.
"Kalau gitu, suruh saja dia tugas di sini lagi. Kalau nggak mau. Mending putus deh, kasihan kamu kesepian."
"Emang segampang itu berpindah ke lain hati?"
Vano menjentikan jarinya, setuju sekali dengan jawaban Chintya. Memang susah sekali berpindah ke lain hati. Kalau sudah cinta sama satu orang, susah sekali cari orang lain.
"Tapi setidaknya dia bisa pulanglah, sebulan atau seminggu sekali."
"Susah ngomong sama orang yang sedang bucin. Coba aja dulu gini ngomongnya."
Vano terkekeh, aura wajahnya akhir-akhir ini cerah ceria seperti langit di pagi hari.
Pria itu bersenandung pelan, lagu yang ia pilih lagu-lagu orang kasmaran.
"Imel 'kan mantan sahabat kamu, tega ya kamu menghianati Cello."
Vano menghentikan acara konser dadakannya, ia memicingkan matanya tajam.
"Yang saling mencintai itu Imel sama aku, Cello cuma cinta sepihak."
"Mau cinta sepihak atau apa kek, tapi mereka pernah menjalin hubungan."
"Itu masa lalu. Kalau Imel mencintai Cello, dia pasti tidak akan setuju melanjutkan pertunangan ini."
Chintya menggeleng pelan, bingung ia harus memihak siapa. Mereka berdua sahabatnya.
"Kenapa di antara kalian tidak ada yang jatuh cinta sama aku? Kayak di novel, sahabatan jadi cinta."
"Ngarep. Memang kamu mencintai kami? Yang ada malah ribet urusannya kalau Cello sama Aku ribut gara-gara kamu. Kami sudah nggak penasaran sama sekali sama dalaman kamu." Kata Vano terbahak.
"Dasar mesum. Sini pukul, sini!" Tanpa ampun Chintya memukul tubuh Vano bertubi-tubi.
******
Imel melirik jam tangannya, ia sedang menunggu jemputan Vano di lobi Rumah sakit. Setiap hari Sabu, kala kuliah libur, gadis itu magang di Rumah sakit."Bareng aku, ya. Vano belum selesai syuting. Kalau nunggu dia, apa kamu nggak kemalaman?" Cello muncul dari mobilnya. Pemuda itu berpakaian hem putih yang lengannya sengaja di gulung. Kumis tipisnya menambah ketampanannya.
"Tidak usah. Biar aku nunggu saja."
"Ya, sudah. Kalau begitu aku temani ngobrol di sini sampai dia datang."
Tanpa Imel setujui, pria itu duduk di sampingnya. Malam itu suasananya sedikit mencekam. Dari sore langit sudah menghitam, sesekali kilat melintas di sertai suara guntur yang menggelar cukup keras. Imel merapatkan jaketnya berharap bisa mengusir dingin.
"Pulang saja, aku bisa sendiri."
"Kamu mengusirku? Kita sudah saling kenal bahkan sebelum kamu bertemu dengan Vano, Mel. Kenapa, seolah-olah sekarang aku yang jadi orang ketiga?" Dengus Cello dengan suara menelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
reply 2000
Художественная прозаkarya pertama yang saya persembahkan buat para shipper bangbangcouple. mungkin masih banyak kekurangannya. "Bagaimana aku menyianyiakan masa remajaku seperti ini,mengagumi seseorang yang sama sekali jauh dari tipe idealku.Dia sangat narsis,sangat pl...