Sisi lain Vano

110 6 2
                                    

Rencana nonton hari ini gagal lagi, Vano ada jadwal pemotretan. Imel kembali tertahan di rumah Vano.

"Bantuin Bunda masak dong, Mel." panggil Bunda Nia dari dapur tatkala melihat Imel melangkah masuk ruang tengah.

Imel memutar langkanya berjalan ke arah calon mertuanya itu.

"Mulai sekarang kamu harus terbiasa ya dengan jadwal Vano yang nggak tentu kayak gini." Kata Bunda Nia.

Wanita itu sedang mengupas papan pete, Imel mengiyakan.

"Kamu baik-baik  saja 'kan? Vano nggak nyakitin kamu lagi?"

Imel diam sejenak, mengambil pisau lalu mencincang bawang putih.

" Vano lumayan baik, Bun." jawab Imel tanpa menoleh, entah mengapa dia sekarang malah canggung kalau berhadapan dengan Bunda Nia, padahal dulu tidak seperti ini.

"Bunda juga tidak tahu apa motif Vano mau melanjutkan pertunangan ini," Bunda Nia menatap Imel lebih dalam. "Tapi Bunda yakin kali ini Vano serius, Mel."

Acara masak masih berlanjut tanpa suara mereka. Hanya suara wajan beradu karena Bunda sedang menumis.

"Tapi maaf, Mel. Ada satu hal yang masih membuat Bunda bingung. Kenapa waktu itu kamu tidak menolak saja saat Eyang memperkenalkan kamu sebagai tunangan Vano?"

Imel mematung mendengar pertanyaan Bunda Nia, haruskah dia jawab kalau dia mengikuti kata hatinya, mencintai Vano. Walaupun saat itu otaknya bersikeras menolak.

"Ah, sudahlah. Jangan hiraukan pertanyaan Bunda tadi.  Yang penting kedepannya kalian baik-baik saja"

"Iya, Bun. Habis ini masak apalagi?"

"Sudah, tinggal nyiapin buah. Kalau kamu ngantuk, kamu bisa istirahat dulu di kamar lama Vano. Nanti kalau waktunya makan Bunda panggil."

Imel mencuci tangannya sebelum ia beranjak ke kamar Vano.

"Tempatnya masih bersih kok, Mel."

"Iya ,Imel kesana ya, Bun. Maaf nggak bisa bantu masak sampai selesai. Imel ngantuk." Kata Imel sungkan.

"Iya. Nggak apa. Kamu istirahat dulu.

Di rebahkan segera tubuhnya di kasur itu sesampainya di kamar. Bunda Nia benar kamar ini masih sangat layak di gunakan. Spreinya wangi khas Vano bermotif karakter salah satu klub sepak bola luar negeri.
Dindingnya berwarna biru senada dengan warna spreinya, ada 2 meja belajar tua yang menghadap ke jendela. Dan ada lemari kecil tempat buku-buku lama. Imel memejamkan matanya pelan, kemudian dia tertidur.

****
Imel rasa ada yang menepuk pipinya pelan,

"Bangun, Mel!" itu suara Bunda   Seketika dia terjaga.

"Maaf, Bun. Aku ketiduran."

"Nggak apa. Yuk,makan dulu!" ajak Bunda. Imel bangkit cuci muka sebentar lalu menyusul Bunda Nia.

Di sana hanya ada Bunda Nia dan Papanya Vano, rupanya Vano belum datang. Imel mendesah sadar jadwal kerja Vano beda dengannya.

"Hai,Mel...," sapa papa Vano.

"Silahkan duduk!"

"Vano pulang jam berapa, Ma?" tanya Om Anjelo

"Tadi mama telfon Chintya, katanya kira-kira sejam lagi selesai"

"Kamu harus maklum ya,Mel. Kerjaan pasangan kamu nanti beda dengan orang kantoran." pesan Papa Vano.

"Iya,om"

"Vano itu di balik sikapnya yang slengekan, dia itu lebih suka memendam sendiri kalau ada masalah. Kadang dia tertawa padahal hatinya sedang terluka," Bunda Nia menatapku intens.

"Jadi, Bunda harap kalau suatu saat dia terlihat emosi, percayalah saat itu dia sudah tidak bisa lagi menahan lukanya"

Imel menganguk mencoba mengerti.

Selesai ngobrol sambil makan Imel memutuskan kembali ke kamar Vano, dia memutuskan akan membaca beberapa buku yang tadi dia sempat lihat di lemari Vano. Sembari menunggu kedatangan Vano biar tidak jenuh.

Di lemari itu rata-rata yang tersimpan majalah lama yang sampulnya tentu saja wajah Vano. Bibir Imel melengkung kala matanya menatap Foto Vano bertelanjang dada, tampak seksi. Selama ini dia belum pernah melihat Vano seperti secara langsung, tapi entah mengapa melihat lewat foto saja seketika dadanya berdesir. Karena tidak mau pikirannya kemana-mana Imel beralih mengambil sebuah buku kecil yang sudah usang. Ketika dia menariknya, sesuatu sekilas jatuh. Imel memungutnya, ternyata sebuah foto. Dan yang membuat Imel kaget, foto itu fotonya masa sekolah yang sedang membuka bekal makanan. Fotonya ketika bertompel. Imel membalik foto itu,bada catatan di sana.

Awal ketemu kamu,masa depanku. Semoga.

Dada Imel berdesir, bibirnya melengkung, tak  menyangka kalau Vano lebih dulu mencintainya. Bahkan sebelum dia menyadarinya.

Mentok,part terpendek yang pernah aku tulis. Ide lagi buntu buat lanjutin story ini. Enaknya di cepetin end atau di kasih konflik lagi ya?

Lamongan,14 juni 2019

reply 2000Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang