kenyataan yang menyakitkan

115 6 0
                                    

Hari demi hari dilalui Imel dan Vano dengan penuh perjuangan.Perjuangan untuk saling menghindari,saling tak memperdulikan walau pun tak mudah di lakukan.
Seperti hari ini ketika jam olahraga berlangsung,Imel bersama Tari sedang mengambil alat olahraga di gedung belakang tatkala tak sengaja mereka bertemu dengan Vano yang baru saja dari ruang bahasa dimana gedungnya persis di samping gudang alat olahraga.Mata mereka beradu tak mampu berkata apa apa,hanya Tari yang tanpa mereka sadari memperhatukan kecanggungan mereka.

"Kamu ada hubungan apa sama Vano? Kayaknya kalian dekat?" tanya Tari membuyarkan lamunan Imel.

"Oh, Nggak lah. Mana mungkin."

Tari mengerutkan dahi, dia membutuhkan penjelasan hari ini. Maka dengan sedikit memaksa di hentikannya langkah Imel yang hampir menjauhinya.

"Kita memang belum lama berteman Iv, tapi aku sudah cocok sama kamu dan menganggap kamu sahabat," kata Tari, membuat Imel salah tingkah.

"Kalau memang kamu belum mau cerita sekarang, aku siap kok mendengarnya lain waktu." lanjut Tari lagi, Imel tersenyum tipis bingung apakah dia harus cerita ke Tari atau tidak.

"Ya sudah. Mungkin belum saatnya kamu  cerita. Yuk balik kelas." ajak Tari memecah kebisuan, Tari tahu Imel sedang ada masalah sekarang. Tapi gadis itu menyadari bahwa sepertinya sahabatnya itu sosok yang tidak suka mengeluh pada orang lain, walaupun itu sahabatnya sendiri.

Imel Pov

Tari memang berbeda dengan Wulan, Tari lebih peka atas apa yang terjadi padaku. Seperti siang ini saat kami di suruh bu Maya untuk mengambil raket di gudang, secara tak sengaja aku bertemu dengan Vano. Setelah peristiwa di rooftop pagi itu sebisa mungkin aku berusaha untuk menghindarinya. Tapi sepertinya Tuhan masih ingin agar kami tetap bertemu seperti Ini. Ini ke sekian kalinya aku tak sengaja bertemu dengannya. Ada rasa sedikit bahagia di hatiku tatkala melihatnya lagi. Dia selalu berhasil membuat dadaku berdegup lebih kencang. Kami saling menatap,entah berapa lama kami saling menatap tanpa kata. Dan pada akhirnya dia memilih berlalu, meninggalkan aku yang masih tertegun. Kalau saja Tari tidak  membuyarkan lamunanku dengan pertanyaannya, mungkin aku tak menyadari dimana kami sekarang berada.

Semenjak kejadian di Roftoop itu, aku juga tak lagi makan bekalku disana. Aku makan di kelas dan sesekali ke kantin atas ajakan Cello. Baru setelah makan aku kembali membuka buku pelajaranku, tentu saja hal itu aku lakukan untuk mengalihkan perasaanku padanya. Aku bertekad belajar lebih tekun, toh tinggal beberapa bulan lagi aku tidak akan lagi bertemu dengannya. Karena sudah pasti dia lulus.

"Rajin banget nih bocah." sapa Wulan yang baru saja datang bareng Reno dari kantin. aku tersenyum melihat keduanya, unik. Mereka kadang akur dan kompak walaupun lebih banyak bertengkar nya.

"Bantu aku dong Lan, kalau kamu berhasil aku traktir makan seminggu." Kata Reno yang samar-samar terdengar di telingaku. Entahlah, pembicaraan apa yang sedang mereka bahas kali ini, kulihat sekilas Wulan tersenyum licik.

"Cuma minta nomer telfon doang kan?" seringai Wulan, Aku yakin Reno menganguk karena aku tidak mendengar jawabanya.

"Oke. Tapi apa kamu siap bersaing dengan Ivano? Saingan kamu berat lho, artis." mendengar nama Ivano di sebut spontan aku menengok ke arah Wulan yang aku yakin tidak sadar dengan reaksiku.

"Mereka tidak punya hubungan apa apa, selain rekan kerja." jawab Reno mantap, akhirnya aku mengerti siapa yang sedang mereka bicarakan.Tidak lain tidak bukan adalah Vano dan Fita, Reno sedang getol sekali mencari info tentang Fita.

"Elaaah, kamu terlalu yakin."ejek Wulan, pada akhirnya aku penasaran pembicaraan apalagi yang akan keluar dari dua temanku itu. Tapi aku pura-pura tetap membaca buku. Konsentrasiku buyar seketika setelah nama Ivano di sebut.

reply 2000Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang